Blue Whale

By: Monica Dharmawan W.

Kls/no: 8A/22

(Cerita ini terinspirasi dari hal yang menyorot saya saat Widyawisata di Bali, yaitu Pantai.)

“Tara, Jangan pergi terlalu jauh! Bahaya nak” Suara Ibu terpendam, karena aku sibuk melamun sampai sampai terbawa arus. Minggu ini, kami berlibur di Bali. Aku, adikku, Papah, dan Mamah, menyempatkan diri untuk bisa berlibur bersama. Hari ini, tepatnya saat ini, aku sedang mengunjungi Pantai Melasti. Menurutku ini Pantai yang terindah di Bali dibanding Pantai lain. Pasir yang putih, laut yang berwarna hijau kebiruan jernih, ombak yang berisik namun bergerak perlahan, membuatku merasa tenang. “Kakak, ayo kita main istana pasir!” bujuk adikku yang masih berumur 7 tahun. Aku mengangguk dan mengikuti Adikku berjalan. Berjalan pelan.. Cepat.. dan jadilah kejar kejaran. Aku melepas sepasang sandalku dengan paksa, agar kaki tidak terasa berat. “Inikah yang disebut bermain istana pasir?” Adikku hanya tertawa dan masih berlari.

“Sudah? Puas?” suaraku lemah dan terengah engah karena lelah. “Kakak lambat sih, jadinya ga seru” “tadi kamu yang bilang sendiri kalau mau main istana pasir.” “aku memang mau main istana pasir, tapi kaki ku ga nurut” Katanya sambil menunjuk nunjuk kakinya. “Anak – anak, ini sudah sore. Ayo kita beres beres lalu kembali ke hotel!” seru Papahku, selagi mengambil sandal anaknya yang jatuh. Kami berjalan menuju mobil, namun pandanganku tak lepas dari laut itu.

Saat kami sudah tiba di hotel, aku dan adikku masuk ke kamar kami, lalu bertengkar soal orang yang mandi pertama. Setelah berabad- abad, akhirnya aku menyerah dan membiarkan adikku duluan. Kami berdua telah selesai mandi, saat Ayah membawakan kami makan malam yang dipesankan melalui gak-food. Perut kami kenyang, mataku sudah berat, namun Adikku seperti biasa ingin dibacakan cerita.

Tubuhku bergerak. Rasanya seperti jatuh, tapi lambat dan berat. Terdengar suara celetuk di sekitarku. Gelembung? Aku berusaha membuka mata. Aneh, ada banyak ikan di sekelilingku. Apa yang mereka lakukan? Kulihat mereka berputar putar dengan cepat. Di samping kiri, aku melihat ada banyak kawanan hiu yang diam mengamati. Di samping kanan, adalah hal yang tidak ku sangka. Jantungku berdebar kencang, ku pelototkan mataku, dan ku belokkan badanku ke arah itu. Hewan itu adalah mamalia, mamalia yang paling kusuka dan hidup di air. Tubuhnya besar, seperti mulutnya. Mamalia, tidak. Hewan terbesar di bumi, Paus biru. Sejak kecil, aku menyukai hewan paus. Aku tidak mencari informasi nya sampai mendalam, aku hanya suka melihat tubuh besar mereka dan suara dengung mereka. Aku bangga bahwa paus adalah hewan terbesar di bumi. Dan mereka adalah hewan yang baik dibalik tubuh besar mereka. Karena mereka memakan mikro seperti plankton dan ikan ikan kecil. Aku ingin melompat lompat, namun sekarang aku baru sadar. Ini adalah lautan. Aku tenggelam. Aneh, aku bisa bernafas. Aku mulai panik, dan bergerak tidak beraturan yang membuat ikan ikan yang menari bubar. Mereka berlari ke arah yang berbeda beda, dan tragisnya beberapa dari mereka menjadi santapan hiu. Aku tidak terlalu suka hiu, karena menurutku mereka kejam, makan dengan brutal dan berceceran darah. Oh ayolah, jangan bawa paus orca ke dalam topik ini. Mereka lebih imut, setidaknya. Dengungan paus itu muncul dan.

Aku terbangun, di kasur, tempat ini tidak lain adalah hotel. Adikku sudah tertidur pulas dengan posisi terbalik. Nafasku terengah engah dan berusaha mencubit tanganku. Aw! Sakit. Aku beranjak dari kasur untuk melihat jendela. Laut.. aku ingin merasakan itu lagi. Entah apa yang ada di pikiranku, yang pasti aku sudah gila. Aku membuka handphoneku dan memesan taksi dengan tujuan Pantai Melasti. Sopir taksi itu terlihat kebingungan, namun aku dengan keras kepala tetap ingin ke sana. Aneh, memang aneh. Pikiranku terasa kosong, dan hanya ada bayangan laut dan dengungan paus itu. “disini! Saya berhenti disini!” lalu aku keluar dan menghantam pintu taksi itu. “Terima kasih Pak!” kataku sambil buru buru aku membayar taksi. Sopir itu masih khawatir dan kebingungan, namun tidak bisa sanggup melawan kekerasan kepalaku. Aku berdiri, mencari air yang tiada taranya itu. Ketemu! Aku lari sekencang mungkin, entah apa saja yang aku lewati seperti pagar, batu yang membuatku berdarah, pasir yang terasa kasar di telapak kaki. Untungnya, aku jauh dari tempat security, jadi tidak benar benar di tempat pantai Melasti. Sampailah aku di pesisir pantai. Pikiranku masih terbayang mimpi itu. Aku berjalan ke depan, air laut itu perlahan menyapu kakiku, menenggelamkan aku setengah badan, hingga aku benar benar tenggelam. Aku tidak bergerak, dan menunggu bila mimpi itu bisa nyata. Menunggu, menunggu dan menunggu. Aku tidak bisa bernafas, tetap kupaksakan untuk menunggu. Mataku perih, tidak seperti di mimpi. Aku mulai sekarat, nafasku berhenti, mulutku terbuka dan air mulai masuk di tubuhku. Kemudian ku dengan suara dengungan yang keras. Suara yang ku kenal, sangat ku kenal. Dengungan itu adalah suara terakhir yang ku dengar di hidupku. Dengungan itu menyadarkan, bahwa ini adalah akhir hidupku. Betapa bodohnya aku berbuat seperti ini, namun entah kenapa aku merasa seperti orang terberuntung di dunia. Aku bisa mendengar suaranya, dan kupaksakan mataku untuk terbuka. Buram dan hampir gelap, namun samar samar kulihat dia. Sesuatu yang kulihat di akhir hidupku, paus biru.

Pesan: cerita ini menggambarkan orang yang ingin merasakan, mendengar, dan melihat sesuatu yang Ia inginkan. Kebanyakan orang menganggap keinginan mereka mustahil, namun orang gila seperti Tara berkata sebaliknya. Saya tidak menyuruh kita untuk menjadi orang gila, namun saya ingin supaya kita jangan menyerah terhadap sesuatu hal/impian selama itu masih bisa. Jika menurutmu itu mustahil, berdoalah kepada Tuhan, jangan seperti Tara yang terwujud keinginannya, namun hanya menggunakan akal sehat manusia (tidak memikirkan resikonya). Tuhan pasti akan menunjukan jalan untuk keinginan/impian kita jika kita berusaha dan percaya pada-Nya

The End.