Sang Penulis

Sang Penulis

Menjadi penulis yang hebat. Itulah cita-cita yang selalu kuharapkan. Aku membayangkan bagaimana serunya berbagi ilmu kepada orang banyak melalui tulisan. Rasanya tak akan mungkin cita-cita itu bisa tercapai jika aku tidak mulai belajar dari sekarang. Dan inilah saat yang tepat untuk belajar.

 

Dengan berbekal rasa optimis, aku mencoba belajar menjadi penulis. Mulai dari mengirim naskah cerpen atau puisi ke beberapa majalah. Ternyata harapanku berbanding terbalik dengan kenyataan. Saat aku membaca beberapa majalah terbitan terbaru, tak satu pun kulihat naskahku yang dimuat. Itu artinya naskahku tidak diterima. Bukan tidak diterima, hanya saja naskah yang aku kirim tidak dimuat, dan bagiku itu menyedihkan.

 

Peluang itu muncul lagi. Ya, aku mendengar ada lomba menulis cerpen. Ini saat yang tepat bagiku untuk menunjukkan karyaku yang lebih baik. Mumpung masih ada peluang, mengapa tidak dimanfaatkan?

“Laila, aku dengar ada lomba menulis cerpen”, kataku.

“Benarkah? Aku baru tahu. Jadi, apa rencanamu?”, kata Laila.

“Aku ingin mengikuti lomba itu. Ini kesempatan bagiku untuk mengirim cerpen buatanku.” , jawabku.

“Memangnya kamu yakin bisa menang?” tanya Laila.

“Aduh, kamu ini bagaimana sih? Aku ingin mencoba mengirim cerpenku, siapa tahu bisa menang. Kalau belum dicoba kan belum tahu. Toh juga walaupun tidak menang, setidaknya aku pernah mencoba dan semoga itu bisa membuatku lebih semangat untuk belajar menulis cerpen yang lebih baik lagi.” jawab Laila.

“Bagus, bagus. Aku suka semangatmu. Tapi kamu tau nggak?” kata Laila.

“Tidak, memangnya kenapa?” tanyaku.

“Sebenarnya, aku juga mau mengikuti lomba cerpen itu.” kata Laila.

“Jadi, kenapa kamu tidak ikut?”, tanyaku.

“Kamu tau nggak? Sebenarnya aku juga ingin menjadi penulis, sama sepertimu. Semenjak aku sering membaca cerpen dan novel, aku jadi kagum dengan para penulis yang hebat dan aku pun tertarik menjadi seorang penulis. Tapi sekarang aku masih baru belajar. Jadi aku ragu-ragu untuk ikut lomba”, curhat Laila.

“Hahaha.. Ooo begitu. Berarti kita sama dong, sama sama mau jadi penulis.”, seruku.

“Ya, sepertinya begitu.” kata Laila.

“Kenapa harus ragu-ragu? Coba saja kamu ikut lomba. Ndak apa-apa walaupun masih baru belajar. Justru ini kesempatan bagimu untuk belajar menulis cerpen.”, kataku.

“Iya deh, aku ikut. Untuk sekarang ini, aku tidak mau terlalu memikirkan apakah aku akan mendapat juara atau pun tidak. Yang penting aku ingin mencoba. Aku ingin belajar dan harus belajar.” jawab Laila.

“Nah, gitu dong. Tenang saja, kawan. Kita sama-sama berusaha.”, kataku.

Laila tersenyum dan berkata, “Baiklah. Terima kasih atas dukungannya kawan.”

“Sama-sama, kawan. Kita memang harus saling mendukung dalam kebaikan.”

 

Aku dan Laila mengikuti lomba itu. Jadi, kami harus berusaha membuat cerpen semenarik mungkin untuk dikirimkan. Tidak hanya menarik tetapi juga mengandung pesan moral.

 

Zaman sekarang ini, nilai-nilai moral telah terkalahkan oleh pengaruh negatif globalisasi. Maka semoga melalui tulisan, salah satunya adalah karya tulis yang berupa cerpen bisa membuat para pembacanya menghayati pesan moral yang terkandung dalam cerpen tersebut.

Tamat

sky

Emas tidak terkira

Persahabatan adalah harta paling berharga yang dimiliki seorang manusia

Cinta dan persahabatan

Sesuatu yang tak ternilai

Ah,

Seandainya aku tahu dari dulu

Sudah kujual semua sahabat dan cintaku.

 

 

Kasih

Kasih

Ibuku adalah seorang pedagang di pasar aku sering membantunya. Ayahku sudah meninggal dunia sejak aku masih kecil. Aku bersekolah di SMP Mentari, di sekolah aku sering di ejek oleh teman sekelas ku karna aku berasal dari keluarga miskin. Aku tidak mempunyai teman di sekolah, jam istirahat aku juga berjualan kue di kantin sekolah membantu ibuku mencari uang. Sepulang sekolah biasanya aku pergi bekerja, aku bekerja sebagai asisten rumah tangga di dekat rumahku. Menjelang malam aku pulang kerumah ibuku sudah menyiapkan makanan untuk kami makan bersama. Setelah makan aku mengerjakan pekerjaan sekolah. Aku mengerjakannya menggunakan pencahayaan dari lilin karena rumahku tidak memiliki listrik. Selesai membuat pekerjaan sekolah aku bergegas tidur. Karena takut kesiangan pergi sekolah.

                Ke esok kan harinya saat aku ingin pergi ke sekolah aku melihat ibu sedang sakit. Hati ku sangat cemas karena ibu sedang sakit, sedangkan aku harus berangkat ke sekolah.

          “Apakah aku harus berangkat sekolah dan meninggalkan ibu di rumah sendirian” kata ku sambil kebingungan, aku pun memilih untuk tidak sekolah dan merawat ibuku. Tetapi ibu tetap menyuruhku untuk pergi ke sekolah

        “Sebaiknya kamu pergi bersekolah jangan mencemas kan ibu, ibu akan baik baik saja” kata Ibu sambil batuk kecil.

              Aku pun pergi ke sekolah dengan hati yang sangat cemas karena ibuku yang sedang sakit dirumah. Tiba di sekolah ternyata bell sudah bernyanyi kencang dan semua orang sudah masuk ke kelas. Aku segera bergegas masuk ke kelas, untungnya aku masih belum terlambat. Seperti biasa aku berjualan kue di sekolah tapi hari ini jualanku sepi tidak ada satupun orang yang membelinya. Saat pulang sekolah aku pergi untuk membeli makanan dengan uang celenganku. Setelah itu aku kembali pulang kerumah untuk menemui ibuku. Sesampai di rumah aku terkejut melihat ibuku sudah tergeletak di lantai.

             Aku segera meminta tolong kepada tetangga untuk membawa ibuku ke rumah sakit. Setelah diperiksa ternyata ibuku mengidap penyakit kanker paru-paru dan harus segera dilakukan tindakan operasi. Aku sangat sedih mendengar berita itu, uangku tidak cukup jika harus operasi. Aku langsung mencari pinjaman uang kepada tetangga tetapi tidak satupun orang yang ingin meminjamkannya. Aku sangat bingung harus meminjam uang kepada siapa. Aku terus berusaha meminjam uang sampai kepada orang yang tidak aku kenal tetapi masih belum ada orang yang mau meminjamkannya. Hingga matahari sudah tertidur aku pun masih belum mendapatkan uang. Akhirnya aku kembali kerumah sakit dengan rasa kecewa, aku mengatakan kepada ibuku “Maafkan aku Bu aku tidak mempunyai uang untuk melakukan operasi Ibu, aku sudah berusaha meminjam uang kepada tetangga tetapi tidak ada satupun orang yang ingin Meminjamkannya” kata ku sambil menangis tersedu sedu.

      “Tidak apa-apa Ibu juga sudah merasa baik tidak perlu dioperasi” kata Ibu sambil menenangkan anaknya. 

           Mereka pulang ke rumah. Keesokkan harinya keadaan ibuku terlihat sedikit lebih memburuk dari biasanya. Aku segera pergi untuk membeli obat di apotek, karena terlalu terburu buru aku sampai terjatuh. Kaki ku sampai berdarah, aku lalu bangun dan lanjut berlari untuk membeli obat. Sesampai di apotek aku lalu membelikan obat untuk ibuku lalu aku bergegas pulang. Sesampai di rumah aku melihat ibu sedang berbaring di tempat tidur. Aku tidak tega untuk membangunkannya dan berpikir untuk membiarkannya beristirahat sebentar. 

 

           Beberapa jam kemudian ibu tidak kunjung bangun untuk meminum obatnya aku pergi membangunkan ibu, tetapi Ibu tidak bangun. Aku goyang – goyangkan badannya sambil memanggil memanggilnya tidak terasa mataku pun sudah mulai berkaca – kaca. Badan Ibu sudah mendingin seperti es, detak jantungnya sudah tak berdetak lagi dan nafasnya sudah tidak lagi berhembus. Di situ aku menangis tak henti – hentinya karena ibu sudah tidak ada lagi untuk selamanya dan aku meminta tolong kepada tetangga untuk mengecek kondisi ibuku. Ternyata benar, Ibuku sudah meninggalkan ku untuk selamanya. Kemudian aku pun meminta tolong kepada tetanggaku untuk memandikan dan menguburkan Ibu ku. Karena itu sayangi lah ibumu seperti ia menyayangi mu sejak kecil hingga kau menjadi dewasa dan selalulah berusaha untuk membahagiakan ia selagi ia masih hidup. 

Kamar 455

Kamar 455

Malam itu, kami duduk berempat di atas ranjang sejenak ingin berbagi cerita.

“Tingtung!” suara ponsel Lynlyn.
“Apa itu Lyn?” Tanya ku
“oh ini pesan dari Vani, Cal” jawabnya.

Lynlyn pun langsung membuka pesan dari Vani, raut wajah Lynlyn pun berubah setelah membaca isi pesan teks itu yang bertuliskan “lynnnnn naomiieie nyindennnn dikamar manduuii lyn, tolonnaggsg” dengan typo typo Vani mengetik, kami bisa merasakan kepanikan itu. Spam chat, dan telepon sudah membanjiri notifikasi ponsel Vani, namun tidak ada yang di balas.

Akhirnya dengan kepanikan dan kekhawatiran kami bergegas menghampiri kamar Vani.

Sesampainya, kami menggedor kamar Vani. “Srrrrettttt” suara jeritan pintu yang di buka, betapa terkejutnya kami karena Naomi yang membukakan pintu.

“Mi maaf ganggu mau tanya, vani dimana ya mi?” Tanya ku dengan tegang
“Kurang tau, tapi tadi kata si Pia, tadi Vani sama Veve lagi cari minum” Naomi menjawab.
“Kalo pia? Dimana?” Tanya Nora
“Katanya mau nyari Vani Veve” jawab Naomi.

Dengan kekhawatiran penuh kami berpamitan ke Naomi dan bergegas mencari Vani Veve Pia.

Kesana kemari kami mencari sambil menelepon Veve dan Pia.
Pia pun mengangkat,
“Halooooo, callll kitaaa di kamarrrr Sekarr” Dengan nada berbisik dan takut ia langsung mematikan telepon.
Dengan kepanikan kita baru menyadari bahwa kamar Sekar bersampingan persis dengan kamar Naomi yaitu kamar 455.

Dengan mengendap endap kami menuju kamar Sekar. “Plak..plak..plak..” suara langkah kaki lynlyn yang sangat heboh.
“Ssssuuuuuttttt, kalem lynn” kata Nora.

Sesampainya di depan kamar Sekar, kami menggedor kamar nya. “Duh lama banget nih dibukainnya, keburu si Naomi denger nih” kata Fio dipenuhi rasa takut.

Sekitar 5 menit pintu dibukakan oleh Pia, karena kami chat untuk segera membukakan pintu.
Dengan tergesa-gesa kami masuk, dan langsung mengunci pintu kamar.

Ternyata oh ternyata, dikamar Sekar sudah ada 6 orang berkelubung selimut, yang sedang ketakutan. Yaitu Vani, Veve, Sekar, Tina, Fita, Nauli.

Dengan nada lembut aku berkata “ngapain ngumpet, Ini kami, Calysta, Fio, Nora, Lynlyn”.
Vani pun langsung membuka selimut, dan langsung memelukku dengan erat.
“Calll, guee takut Naomi kenapa kenapa” kata Vani dengan nada cemas dan sedikit meneteskan air mata.
“Gue juga Van, gue khawatir sama kalian semua.” Kataku sambil memeluk Vani.

Aku pun mencoba menenangkan Vani, dan menyuruhnya untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, sedikit demi sedikit.
Kami bersebelas pun duduk melingkar di atas ranjang, dan Vani mulai bercerita.

“Jadi gini, tadi habis balik dari pantai gue sama Veve ga langsung mandi, kita nyiapin baju dulu tuh buat besok checkout sama piyama. Terus si Naomi dia mandi duluan, sebenernya gue disini udah kesel sih soalnya kalo mandi dia lama banget. Abis gitu gue, Veve, Pia duduk di kasur tuh nunggu sambil ngobrol, ga sadar arah perbincangan kita ngarah ke Naomi, nah disitu Pia cerita katanya kemarin malem pas si Naomi mandi Pia denger katanya si Naomi ketawa sendiri, tapi gue sama Veve ga denger apapun. Padahal kalo di logika gue harusnya bisa denger lebih jelas dari Pia, soalnya gue lebih deket sama kamar mandi, yakan cal?!” Vani memotong cerita.

“Iya van lo bener, sok lanjut cerita nya” jawab ku.
“Abis gitu, abis si Pia cerita gitu, ga lama, NAOMIIII NYINDENNNN, dan kali ini kita bertiga denger. Ga lama gue sama Veve langsung ambil baju, gue ga mikirin apapun selain baju, hp aja gue tinggal dan kita langsung ngungsi ke kamar Sekar tanpa ngomong apapun ke Naomi. Pia, untungnya dia berani. Jadi dia nunggu Naomi selesai mandi dulu baru dia nyusul, biar ada alesan, takutnya Naomi nyariin kalo gaada orang sama sekali. Demi Tuhan gue takut banget buat balik.” Vani bercerita.

“Terus gimana nih? Lo pada mau tidur di kamar gue aja?” Tanya Nora.

Belum sempat menjawab, kami sudah dikagetkan oleh suara…
“Tok…tok…tok…” suara pintu di ketuk.
“Siapa tuh?” Tanya Fio.
“Coba lu bukain kar, kan lu yang punya kamar.” Fio menyuruh sekar.

Sekar pun membukakan pintu, dan tidak ada orang, Sekar pun segera menutup pintu.

“AAAAAAAAA!!!” Suara jeritan dari ranjang.

Sekar pun langsung berbalik badan, dan.

“Hai Sekar.” Dari ranjang Naomi menyapa Sekar sambil tersenyum.

Tamat.

Reboisasi hutan shinju

Reboisasi hutan shinju

         Melakukan Reboisasi di Shinju             Forest. 

 

     Hari ini Collei bersama temannya  Ayato dan Ayaka akan melakukan reboisasi dan membersihkan chinju forest.

Sebelumnya Chinju Forest adalah tempat yang sangat tidak terawat karena warganya sering membuang sampah sembarangan dan sering menebangi pohon di sana. Jadi mulai hari ini Saya, Ayaka, dan Ayato akan melakukan reboisasi dan membersihkan sampah-sampah di daerah Shinju Forest. 

      Kami berjalan ke dari Inazuma City untuk membeli biji pohon Aralia dan cuihua. Dalam perjalanan suasana menjadi sangat canggung. Tapi untungnya Ayato memulai percakapan “Hmmm…. Apa di Inazuma City ada orang jualan boba?

 “Aku rasa ada ayato-san” Jawab collei

Ayaka yang kesal pun menjawab”Heh… Kakak itu minum boba terus bukannya sehat malah diabetes! “

Ayato yang mendengarnya pun hanya mendecih kesal. 

   

2 jam berlalu……. 

 

    “Huhh….Akhirnya kita sampai juga di Inazuma city” Ucap collei. 

“Huft…. Akhirnya setelah lelah berjalan selama 2 jam kita sampai juga di sini” Ucap Ayaka.

Sedangkan Ayato…. tentu saja lelah karena habis marah-marah karena kehabisan boba(sungguh maniak boba.) 

Mereka beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan, mereka berhenti di cafe yang menjual boba tentu saja. 

“Ahhh…. Akhirnya setelah sekian abad aku bisa meminum boba milktea yang enak ini! ” Seru ayato

“Ya Tuhan!!! Kakak sudah menghabiskan 5 gelas boba milktea large!!!! ” Jelas Ayaka. 

“E-ehh…. Kalian jangan bertengkar dong” Jawab collei. 

Mereka berdua yang mendengarnya pun hanya mendecih kesal. 

Seusai beristirahat mereka berjalan ke toko kelontong .

“Selamat datang di tsukumomo groceries, ada yang bisa saya bantu? ” Kata aoi saang pemilik toko. 

“Uhmm… Saya mau membeli 50 biji pohon Aralia dan 50 biji pohon cuihua! ” Jawab Collei

“Baiklah tolong tunggu sebentar! ” Jawab Aoi sambil mengangguk. 

Beberapa menit berlalu… 

“Ini biji nya , jadi totalnya menjadi 10.000 mora ya” Jawab Aoi

“Ini mora nya” Seru Ayato sambil memberikan sekantong mora. 

“Baiklah terimakasih,silahkan datang kembali!! ” Seru Aoi. 

 

“Baiklah karena sudah selesai membeli biji mari kita jalan-jalan!! ” Jawab Ayaka dengan senang. 

Collei dan Ayato hanya mengangguk. 

 

Malam pun tiba… 

 

Sesampainya di hotel mereka  berbicara sebentar mengenai kegiatan yang besok akan mereka lakukan. 

“Besok kita kumpul disini jam 7 pagi dan tidak ada yang boleh terlambat!” Jawab Ayaka dengan tegas. 

“Dihh… Nyuruh-nyuruh” Jawab Ayato kesal. 

“Ihh… Niat g si kakak ini! ” Ayaka menjawab. 

“E-ehhh…. Kalian jangan bertengkar terus dong!! ” Jawab collei dengan tergesa-gesa. 

“Huft.. Baiklah-baiklah, jadi besok setelah kita semua berkumpul disini langsung berangkat saja sehingga tidak membuang buang waktu” Jawab Ayato dengan panjang lebar.

“Baiklah, deal ya.!! ” Seru Ayaka. 

“DEAL!!”jawab mereka bertiga secara bersamaan. 

Setelah selesai berbincang mereka ke kamar masing-masing. 

 

Keesokan harinya… 

 

Tepat jam 7 mereka berkumpul di tempat yang sudah dijanjikan. 

” Pagi guys! ” Seru Ayaka

Ayato dan Collei pun hanya mengangguk. 

“Baiklah mari kita pergi ke shinju forest! ” Jawab Collei dengan semangat. 

 

3 jam kemudian…… Di Shinju forest

 

“Huftt…. Akhirnya sampai juga. Baiklah Mari bekerja !! ” Jawab Collei dengan semangat. 

“Baiklah” Jawab Ayato dan Ayaka secara bersamaan. 

 

Mereka akhirnya memulai kegiatan kali ini.

Ayaka dan Collei menanam biji pohon Aralia dan cuihua di berbagai tempat. Sedangkan Ayato memunguti atau mengambil sampah yang berserakan ke dalam kantong plastik yang telah mereka bawa. 

Ayato selama proses hanya bisa mengumpat dalam hati karena tidak bisa minum boba. 

Dan… Tentu saja Collei dan Ayaka sangat menikmati kegiatan kali ini, karena mereka senang sekali merawat lingkungan mereka agar tetap bersih dan terjaga. 

Setelah beberapa jam akhirnya kegiatan ini mereka akhiri dengan meminum boba. 

 

By:Michelle 

Kelas:7B

No:18

 

 

 

 

 

 

Blue Whale

Blue Whale

Blue Whale

By: Monica Dharmawan W.

Kls/no: 8A/22

(Cerita ini terinspirasi dari hal yang menyorot saya saat Widyawisata di Bali, yaitu Pantai.)

“Tara, Jangan pergi terlalu jauh! Bahaya nak” Suara Ibu terpendam, karena aku sibuk melamun sampai sampai terbawa arus. Minggu ini, kami berlibur di Bali. Aku, adikku, Papah, dan Mamah, menyempatkan diri untuk bisa berlibur bersama. Hari ini, tepatnya saat ini, aku sedang mengunjungi Pantai Melasti. Menurutku ini Pantai yang terindah di Bali dibanding Pantai lain. Pasir yang putih, laut yang berwarna hijau kebiruan jernih, ombak yang berisik namun bergerak perlahan, membuatku merasa tenang. “Kakak, ayo kita main istana pasir!” bujuk adikku yang masih berumur 7 tahun. Aku mengangguk dan mengikuti Adikku berjalan. Berjalan pelan.. Cepat.. dan jadilah kejar kejaran. Aku melepas sepasang sandalku dengan paksa, agar kaki tidak terasa berat. “Inikah yang disebut bermain istana pasir?” Adikku hanya tertawa dan masih berlari.

“Sudah? Puas?” suaraku lemah dan terengah engah karena lelah. “Kakak lambat sih, jadinya ga seru” “tadi kamu yang bilang sendiri kalau mau main istana pasir.” “aku memang mau main istana pasir, tapi kaki ku ga nurut” Katanya sambil menunjuk nunjuk kakinya. “Anak – anak, ini sudah sore. Ayo kita beres beres lalu kembali ke hotel!” seru Papahku, selagi mengambil sandal anaknya yang jatuh. Kami berjalan menuju mobil, namun pandanganku tak lepas dari laut itu.

Saat kami sudah tiba di hotel, aku dan adikku masuk ke kamar kami, lalu bertengkar soal orang yang mandi pertama. Setelah berabad- abad, akhirnya aku menyerah dan membiarkan adikku duluan. Kami berdua telah selesai mandi, saat Ayah membawakan kami makan malam yang dipesankan melalui gak-food. Perut kami kenyang, mataku sudah berat, namun Adikku seperti biasa ingin dibacakan cerita.

Tubuhku bergerak. Rasanya seperti jatuh, tapi lambat dan berat. Terdengar suara celetuk di sekitarku. Gelembung? Aku berusaha membuka mata. Aneh, ada banyak ikan di sekelilingku. Apa yang mereka lakukan? Kulihat mereka berputar putar dengan cepat. Di samping kiri, aku melihat ada banyak kawanan hiu yang diam mengamati. Di samping kanan, adalah hal yang tidak ku sangka. Jantungku berdebar kencang, ku pelototkan mataku, dan ku belokkan badanku ke arah itu. Hewan itu adalah mamalia, mamalia yang paling kusuka dan hidup di air. Tubuhnya besar, seperti mulutnya. Mamalia, tidak. Hewan terbesar di bumi, Paus biru. Sejak kecil, aku menyukai hewan paus. Aku tidak mencari informasi nya sampai mendalam, aku hanya suka melihat tubuh besar mereka dan suara dengung mereka. Aku bangga bahwa paus adalah hewan terbesar di bumi. Dan mereka adalah hewan yang baik dibalik tubuh besar mereka. Karena mereka memakan mikro seperti plankton dan ikan ikan kecil. Aku ingin melompat lompat, namun sekarang aku baru sadar. Ini adalah lautan. Aku tenggelam. Aneh, aku bisa bernafas. Aku mulai panik, dan bergerak tidak beraturan yang membuat ikan ikan yang menari bubar. Mereka berlari ke arah yang berbeda beda, dan tragisnya beberapa dari mereka menjadi santapan hiu. Aku tidak terlalu suka hiu, karena menurutku mereka kejam, makan dengan brutal dan berceceran darah. Oh ayolah, jangan bawa paus orca ke dalam topik ini. Mereka lebih imut, setidaknya. Dengungan paus itu muncul dan.

Aku terbangun, di kasur, tempat ini tidak lain adalah hotel. Adikku sudah tertidur pulas dengan posisi terbalik. Nafasku terengah engah dan berusaha mencubit tanganku. Aw! Sakit. Aku beranjak dari kasur untuk melihat jendela. Laut.. aku ingin merasakan itu lagi. Entah apa yang ada di pikiranku, yang pasti aku sudah gila. Aku membuka handphoneku dan memesan taksi dengan tujuan Pantai Melasti. Sopir taksi itu terlihat kebingungan, namun aku dengan keras kepala tetap ingin ke sana. Aneh, memang aneh. Pikiranku terasa kosong, dan hanya ada bayangan laut dan dengungan paus itu. “disini! Saya berhenti disini!” lalu aku keluar dan menghantam pintu taksi itu. “Terima kasih Pak!” kataku sambil buru buru aku membayar taksi. Sopir itu masih khawatir dan kebingungan, namun tidak bisa sanggup melawan kekerasan kepalaku. Aku berdiri, mencari air yang tiada taranya itu. Ketemu! Aku lari sekencang mungkin, entah apa saja yang aku lewati seperti pagar, batu yang membuatku berdarah, pasir yang terasa kasar di telapak kaki. Untungnya, aku jauh dari tempat security, jadi tidak benar benar di tempat pantai Melasti. Sampailah aku di pesisir pantai. Pikiranku masih terbayang mimpi itu. Aku berjalan ke depan, air laut itu perlahan menyapu kakiku, menenggelamkan aku setengah badan, hingga aku benar benar tenggelam. Aku tidak bergerak, dan menunggu bila mimpi itu bisa nyata. Menunggu, menunggu dan menunggu. Aku tidak bisa bernafas, tetap kupaksakan untuk menunggu. Mataku perih, tidak seperti di mimpi. Aku mulai sekarat, nafasku berhenti, mulutku terbuka dan air mulai masuk di tubuhku. Kemudian ku dengan suara dengungan yang keras. Suara yang ku kenal, sangat ku kenal. Dengungan itu adalah suara terakhir yang ku dengar di hidupku. Dengungan itu menyadarkan, bahwa ini adalah akhir hidupku. Betapa bodohnya aku berbuat seperti ini, namun entah kenapa aku merasa seperti orang terberuntung di dunia. Aku bisa mendengar suaranya, dan kupaksakan mataku untuk terbuka. Buram dan hampir gelap, namun samar samar kulihat dia. Sesuatu yang kulihat di akhir hidupku, paus biru.

Pesan: cerita ini menggambarkan orang yang ingin merasakan, mendengar, dan melihat sesuatu yang Ia inginkan. Kebanyakan orang menganggap keinginan mereka mustahil, namun orang gila seperti Tara berkata sebaliknya. Saya tidak menyuruh kita untuk menjadi orang gila, namun saya ingin supaya kita jangan menyerah terhadap sesuatu hal/impian selama itu masih bisa. Jika menurutmu itu mustahil, berdoalah kepada Tuhan, jangan seperti Tara yang terwujud keinginannya, namun hanya menggunakan akal sehat manusia (tidak memikirkan resikonya). Tuhan pasti akan menunjukan jalan untuk keinginan/impian kita jika kita berusaha dan percaya pada-Nya

The End.