Oleh : Evangeline Gwen Hebertson 9G/17
Tak heran jika namanya telah resmi dijadikan nama rumah sakit yaitu RSUP dr. Kariadi karena beliau telah mengorbankan dirinya untuk masyarakat Kota Semarang pada saat gempuran yang hebat dalam peristiwa 5 hari pertempuran di Semarang. Warga Kota Semarang pasti tak asing dari nama itu karena rumah sakit dengan nama dr. Kariadi ini cukup terkenal dan merupakan rumah sakit terbesar di Jawa Tengah. Beliau bernama dr. Sardjito Kariadi, seorang dokter medis kelahiran Malang pada tanggal 15 September 1905. Meski ia lahir di Malang ia disebut pahlawan Semarang, karena akhir hayat perjuangan dan tugas terakhirnya berada di Semarang. Berikut kisahnya, seorang pahlawan medis dalam catatan sejarah Indonesia, dr. Kariadi.
Kariadi adalah anak dari ibu yang berasal dari Yogyakarta dan ayahnya yang bernama Kertoleksono berasal dari Malang. Beliau adalah anak kedua dari dua bersaudara yang berarti ia adalah anak terakhir. Kakaknya bernama Kariono. Masa kecilnya mereka berdua dibesarkan oleh paman dari ayahnya, karena mereka sudah ditinggal oleh kedua orang tuanya. Meski Kariadi tidak hidup bersama orang tuanya, Kariadi tetap mengikuti sekolah. Pendidikan Kariadi dimulai dari sekolah dasar. Ia memulai sekolahnya di Hollandsch Inlandsche School atau yang disingkat HIS. Sekolah ini merupakan sekolah dasar khusus orang-orang yang berasal dari Eropa atau yang merupakan keturunan Hindia Belanda. Kariadi kecil sangat beruntung bisa bersekolah disana dan ia melanjutkan bersekolah di HIS Sidoarjo dan lulus pada tahun 1920. Kariadi tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berdedikasi. Setelah lulus, beliau melanjutkan ke pendidikan jenjang kedokteran di Nederlandsch Indische Artsen School atau yang disingkat NIAS. Sekolah ini adalah sekolah kedokteran khusus pribumi yang bertempat di Surabaya. Saat Kariadi bersekolah di sana ia tinggal di rumah dr. Sardjono, nama dari sang pemilik rumah. Ia bertemu dan berkenalan dengan Soenarti, putri dari bapak dr. Sardjono. Dari sinilah awal ia menemukan cinta sejatinya yang menjadi istrinya kelak. Soenarti pada saat itu sedang bersekolah di The School tot Opleiding van Inlandsche Artsen yang dikenal STOVIA dan lulus sebagai dokter gigi pribumi pertama di Hindia Belanda.
Karena kerja keras tidak menghianati hasil dan beliau selalu berusaha yang terbaik, Kariadi lulus dari NIAS pada tahun 1931 dan mendapat gelar dokter. Inilah awal karir dari sang dokter, Kariadi bekerja sebagai asisten dr. Soetomo di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting yang dapat disingkat menjadi CBZ tepatnya di Surabaya dan berdinas selama 3 tahun. Setelah itu beliau mendapatkan tugas untuk ke Manokwari, Papua. Beliau menyembuhkan para pasien ya g ada di sana dan pernah melakukan operasi kepada pasiennya. Kariadi juga melakukan pengamatan pada nyamuk yang menyebabkan penyakit filariasis atau yang sering disebut penyakit kaki gajah. Beliau juga pernah pergi ke Ambon untuk menangani pasien yang terkena penyakit difteri. Disini dapat terlihat bahwa Kariadi bertanggung jawab pada tugas-tugasnya serta mau membantu masyarakat yang terkena penyakit untuk segera pulih kembali. Perjalanan karir Kariadi penuh dengan prestasi dan pengabdian. Ia senang bekerja di berbagai daerah di Indonesia. Di sini juga dapat terlihat bahwa Kariadi cinta terhadap tanah airnya. Pada tanggal 1 Agustus 1933, Kariadi memutuskan untuk menikah dengan kekasihnya, yaitu drg. Soenarti yang pernah ia temui dan berkenalan saat tinggal di Surabaya di kediaman keluarga Soenarti. Sepasang suami istri ini kemudian dianugerahi dengan 3 orang anak. Yaitu bernama Numaya Kartini Kariadi, Kartono Kariadi, S.Tex., dan Prof. Dr. Sri Hartini KS Kariadi, dr.,Sp.PD-KEMD. Kariadi dan Soenarti mendidik dan memperlakukan anak-anaknya dengan baik hingga mereka ada yang tumbuh mengikuti jejak ayahnya untuk menjadi dokter. Kariadi tetap melanjutkan tugasnya, tanggal 1 Juli 1942 Kariadi ditunjuk menjadi Kepala Laboratorium Malaria di Rumah Sakit Rakyat atau yang bisa disebut RSUP Purusara Semarang sebelum menjadi RSUP Dr. Kariadi. Pada masa penjajahan Jepang bernama Chuo Simin Byoing dan pada masa Hindia Belanda bernama Centrale Burgerlijke Ziekenrichting yang pernah menjadi tempat beliau bekerja sebagai asisten dr. Soetomo. Di tahun 1944, Kariadi melakukan penelitian dan menciptakan pengganti immersion oil yang langka dan biasa digunakan untuk pembesaran mikroskop spesimen darah hingga 1.000 kali. Berkat keuletan dan kecerdasannya yang terampil di bidang medis Kariadi berhasil membuat pengganti minyak dengan bahan yang mudah ditemukan yaitu daun kenanga. Minyak itu diberi nama Minyak Semarang atau Oleum PromicriscopieKar yang telah diubah oleh Iji Hookoo Kai. 17 Agustus 1945, Indonesia sudah bebas dengan jajahan negeri asing.
Pada waktu itu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan di seluruh daerah-daerah di Indonesia termasuk di kota Semarang karena para pemuda di Indonesia merasa bahwa Indonesia telah bebas dari jajahan bangsa asing, mereka berusaha untuk merebut senjata dari tentara Jepang untuk mengantisipasi kembalinya Belanda di Indonesia. Bagaikan membangunkan singa yang sedang tertidur, yang dilakukan oleh pemuda-pemuda tadi membuat Kota Semarang tegang nan ricuh. Lambat laun terjadilah peristiwa pertempuran 5 hari di Semarang pada tanggal 15 Oktober 1945 hingga 19 Oktober 1945. Disaat masa itulah yang menyebabkan Kariadi pengorbanan dirinya yang terbesar dalam hidupnya. Awal penyebab peristiwa pertempuran berasal dari pemuda-pemuda Indonesia sedang berusaha merebut senjata dari tentara Jepang. Karena Mayor Kido Shinichiro mendengar hal itu, mayor berasal dari tentara Jepang ini menolak dengan tegas untuk merebut senjata milik tentara Jepang. Tibalah tanggal 14 Oktober 1945. Sebuah mobil melewati RSUP Purusara. Karena terlihat mencurigakan pemuda-pemuda itu segera memeriksa mobil serta isinya. Ternyata mobil itu adalah Mobil sedan milik Kempetai yaitu polisi militer Jepang dan terdapat senjata di dalamnya, tidak perlu berpikir panjang mereka menyita senjatanya. Di sore hari, malangnya mereka tertahan karena ditangkap dan dimasukan ke Penjara Bulu. Di hari yang sunyi dan hari sudah gelap, tetapi pasukan Jepang bersenjata lengkap masih saja bergerak dengan rencana mereka untuk mengundang kekacauan. Mereka berusaha membobol dan melakukan serangan mendadak di sumber air minum Reservoir Siranda di Candilama. Delapan polisi istimewa yang sedang menjaga sumber air minum itu ditangkap dan dibawa ke markas Kidobutai. Tentara Jepang ternyata memiliki rencana jahat dengan meracuni air minum warga. Rencana tentara Jepang cukup cerdik bagaikan rubah yang suka menipu agar korbannya terjebak. Tak lama kemudian, berita sumber air minum Reservoir Siranda tersebar sehingga warga mulai khawatir. Kariadi menerima tugas dari RSUP Purusara untuk segera mengecek sumber air minum yang diduga sudah diracuni. Namun di saat Kariadi hendak pergi ke tempat yang sudah ditugaskan ia dicegat oleh istrinya. Istrinya khawatir akan suaminya jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Karena saat itu masih sedang terjadi bentrokan. Kariadi memberikan pengertian kepada istrinya bahwa tugas itu memanglah sangat penting, kemudian mengerti bahwa tugas yang diemban sangat cukup penting untuk masa depan Kota Semarang, kemudian akhirnya sang istri dari Kariadi melepas suaminya untuk menjalankan tugasnya dengan masih terbawa rasa kekhawatirannya. Kariadi bergegas berangkat dengan mobil untuk pergi ke tempat kejadian untuk melaksanakan tugas. Sayangnya, ini menjadi tugas terakhirnya. Bagaikan tubuh tersambar petir, tiba-tiba saja beliau ditemukan tewas oleh seorang murid. Kariadi ditembak dan dihantam dengan kejam oleh tentara Jepang. Kariadi sempat dilarikan ke rumah sakit namun tidak selamat karena keadaannya sudah parah dan tertembak pada bagian dada. Kariadi meninggal di usia yang cukup muda yaitu 40 tahun. Kematiannya sudah terdengar oleh seluruh warga Kota Semarang yang membuat pemuda-pemuda semakin marah dan pertempuran masih berlanjut hingga darah penghabisan. Pada 17 Oktober 1945, Tentara Jepang diam-diam menyelundup ke kampung-kampung melakukan serangan kepada warga. Berita kematian Kariadi juga telah sampai ke keluarga yang ditinggalkan. Tentu hati dari keluarga yang ditinggalkan sedang tercabik-cabik perih dan perasaan sedih yang menyulut yang mereka rasakan. Terlebih istrinya yang ditinggal oleh suaminya secara tiba-tiba. Sebab Soenarti masih merasa sedih hingga tidak mampu mengikuti prosesi pemakamannya, hanya anak-anaknya yang mengikuti proses pemakamannya. Sebab Kota Semarang sedang bagaikan dikelilingi awan mendung yang bergemuruh serta suasananya sangat sibuk beliau baru sempat dimakamkan pada tanggal 17 Oktober 1945. Pemakamannya dilakukan di belakang rumah sakit dengan dikelilingi suara tembakan. 19 Oktober 1945, masih terdengar beberapa suara tembakan dengan semakin banyaknya korban jiwa. Setelah melewati masa-masa yang sulit, 5 November 1961, putrinya Sri Hartini menyelidiki tulang ayahnya saat jenazahnya dipindahkan ke makam Giri Tunggal, ia menemukan retakan pada tulangnya yang diduga bekas hantaman benda tajam.
Pada hari peringatan peristiwa 5 hari di Semarang kita mengenang jasa para pahlawan, salah satunya adalah dr. Kariadi. Kematian Kariadi bukan akhir dari kisahnya justru hal ini menjadi pemicu semangat perjuangan rakyat Semarang untuk di masa yang mendatang. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama rumah sakit tempatnya bertugas. Saat ini RSUP dr Kariadi berkembang menjadi besar dan menjadi titik pusat kesehatan di wilayah Jawa Tengah. Berkat jasanya tersebut negara memberikan Satya Lencana Kebaktian Sosial pada tahun 1968. Kisah Kariadi mengajarkan kita bahwa pahlawan bisa datang dari berbagai profesi. Pengorbanannya mengingatkan kita akan nilai-nilai keberanian, pengabdian, dan cinta tanah air yang menjadi fondasi kemerdekaan Indonesia. Melalui kisahnya, kita diajak untuk menghargai jasa para pahlawan, mengisi pembangunan negara dengan kegiatan yang bermanfaat dan terus meneruskan semangat perjuangan mereka dalam membangun bangsa.
Sumber foto header =