Arswendo Atmowiloto, seorang penulis dan wartawan aktif asal Solo yang sepanjang karirnya berhasil menciptakan karya-karya yang pada akhirnya menginspirasi banyak orang. Pria yang lahir pada 26 November 1948 ini dikenal atas novel-novelnya karena mengangkat permasalahan yang dianggap dekat dengan masyarakat. Namun, isu yang paling sering diangkat adalah problematika keluarga yang senantiasa melengkapi realita kehidupan. Dalam novel-novelnya, Arswendo kerap menggambarkan kebobrokan keluarga dengan berbagai rintangannya dan dibungkus dengan bahasa yang familiar namun puitis sehingga pembaca dapat memahami dan merasakan emosi dari karya-karyanya. Salah satu novelnya yang paling terkenal berjudul “Keluarga Cemara” dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1981 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Novel Keluarga Cemara mengisahkan lika-liku kehidupan dalam keluarga Abah yang awalnya merupakan keluarga pengusaha berkecukupan dan tinggal di ibukota. Sayangnya, masa kejayaan itu tidak berlangsung selamanya karena Abah dan keluarganya harus berhadapan dengan konflik ekonomi sehingga Abah harus menjual dan merelakan semua harta bendanya untuk ganti rugi. Lebih sedihnya, bahkan tidak semua anggota keluarga sempat merasakan kejayaan itu, hanya Abah, Ema, dan Euis yang merasakannya sedangkan Ara dan Agil hanya dapat membayangkan. Hidup mereka berubah 180 derajat. Sekarang mereka harus merintis kehidupan mereka dari awal, sembari menanti harapan akan datangnya masa kejayaan mereka yang telah terampas. Kendati demikian, keluarga mereka masih tetap bersatu dan menjaga satu sama lain. Abah menjadi tukang becak, lalu untuk membantu ekonomi, Ema berjualan opak dibantu oleh Euis yang paham betul kondisi keluarganya sekarang. Ara, meskipun dibayang-bayangi harapan untuk merasakan hidup berkecukupan, tetap mau mengerti keadaan keluarganya.

Hal yang membuat novel ini sangat terkenal adalah fakta bahwa penulis dapat dengan jelas menggambarkan secara bersamaan konflik dalam dunia kerja yang berbuntut menjadi masalah keluarga. Selama membaca, kita akan terlarut dalam simpati dan empati untuk keluarga mereka. Terutama mengetahui bahwa Euis, Ara, Agil bahkan harus mau meredam keinginan mereka karena hampir mustahil terpenuhi. Bukannya mendapat yang diinginkan, justru mereka harus rela melupakan semua itu dan fokus memulihkan kondisi ekonomi keluarga mereka. Sayangnya, realita pahit ini kerap terjadi di Indonesia. Masih banyak keluarga yang seharusnya dapat menjadi keluarga yang harmonis justru jatuh ke dalam jurang masalah dan kemiskinan. Lebih lagi, banyak dari kasus tersebut yang berujung pada perpecahan keluarga alih-alih bersatu untuk membalikkan keadaan.

Novel ini menjadi inspirasi untuk banyak orang bahwa ketika kita jatuh dalam sebuah masalah, jangan jadikan hal tersebut sebagai alasan untuk mengeluh atau bahkan menyerah. Setiap masalah pasti mempunyai solusinya masing-masing, jadi tidak ada alasan bagi kita untuk berhenti sebelum menemukan solusi tersebut. Terkadang masalah adalah awal menuju hidup yang lebih baik dan lebih bahagia. Dalam hal keluarga, jika ada masalah, tidak seharusnya kita saling menyalahkan. Menyalahkan sama saja tidak bertanggungjawab atas masalah yang seharusnya ditanggung bersama. Sebagai keluarga, kita seharusnya bisa menjadi pemersatu, bersama-sama dalam keharmonisan, mencari solusi bersama atas masalah yang ditanggung bersama, sehingga tercipta keluarga yang sempurna.