Sebuah keluarga yang terpaksa untuk pergi ke sebuah kota, mencari informasi tentang sebuah perumahan yang dapat menjadi tempat tinggal yang nyaman, dan didapatkanlah informasi tentang sebuah perumahan yang berada di pinggiran kota bahwa disana merupakan tempat yang tenang di mana aroma rumput segar masih melekat di udara, dan tawa anak-anak bergema di jalanan. Keluarga Jefferson, sebuah keluarga Afrika memutuskan untuk pindah. Tanpa menyadari bahwa kehidupan mereka di sana akan berubah 180 derajat sebab mereka akan menjadi satu-satunya keluarga kulit hitam di lingkungan tersebut. Ya, disana mereka melihat banyaknya orang berkulit putih dengan tatapan semacam jijik dengan kehadiran mereka. Sembari menunggu barang barang mereka yang diangkut oleh truk, mereka dapat melihat tatapan dan mendengarkan bisikan yang tidak mengenakan dari tetangga tetangga mereka.
Pada akhirnya mereka pun mengundang para tetangga untuk barbekyu bersama di rumah mereka. Di pertemuan pertama mereka saat sedang berbaur, seorang tetangga mendekat sambil tersenyum paksa, berkata,
“Kalian adalah keluarga pertama dari jenismu di sini. Sungguh menyegarkan melihat keberagaman.”
Komentar itu menggantung di udara, dengan implikasi yang tidak nyaman. Walau begitu pasangan orang tua tersebut tidak menghiraukannya dan mengatakan bahwa mereka bangga menjadi yang pertama dari sekian orang yang ada.Tetapi perasaan yang menjanggal, terisolasi, terkucilkan akan selalu ada.
Beberapa hari berlalu, dengan penuh frustasi keluarga ‘unik’ tersebut terpikirkan untuk kembali ke lingkungan asal mereka, tetapi mereka ingat kembali bahwa sekarang mereka telah mempunyai anak, akhirnya mereka tetap teguh. Tetapi mengubah pandangan orang akan sulit bukan?
Tempat sang anak bersekolah tidak jauh berbeda, Ibu anak ini akan selalu mengingat bagaimana ekspresi wajah anaknya berubah, dari saat ia berangkat sekolah, senyum yang lebar tertempel di mukanya dengan lebar sekejap saat ia datang untuk menjemputnya, yang dapat dilihat hanyalah wajah anaknya yang menjadi murung, hingga suatu saat ketika sang anak hendak pergi ke sekolah, sang anak berkata,
“Aku ga mau ke sekolah..”
“Kenapa?” Sang Ibu bertanya
Sang anak tidak menjawab, melainkan hanya menundukkan kepalanya menghadap lantai. Khawatir, sang Ibu pun mengelus rambut sang anak, tanpa berkata apapun.
“Setiap kali aku kesana, anak-anak lain hanya melihatku dengan tatapan yang tajam. Aku takut”
Takut. Hal yang seharusnya tidak perlu dirasakan oleh sang anak ketika pergi ke sekolah, sang Ibu benar benar putus asa melihat tatapan mata anak yang sedih itu, Ia merasa gagal, “Mengapa dari awal aku tetap ngeyel untuk tetap tinggal disini? Mengapa tidak Ia pikirkan kondisi jika mereka yang ‘unik’ datang kemari? Mengapa..” Ia akhirnya berhenti melamun ketika sang anak menggoyangkan badannya,
“Ibu, aku pergi dulu, aku pamit.”
“Ah.. ya, kalau begitu, tunggu Ibu nanti ya untuk menjemputmu.” Kata sang Ibu tersenyum sambil melambaikan tangan
Sang anak hanya mengangguk, membuka pintu, dan datanglah cahaya matahari yang hangat dan terang menyinari muka sang anak yang menoleh kepadanya dan akhirnya, kegelapan datang dari pintu yang ditutup.
“Pergi ke sekolah benar benar tidak menyenangkan, pelajarannya enak, kalau guru-guru dan anak-anak disana–“
Ia berhenti berjalan dan mengangkat kepalanya untuk melihat lokernya penuh dengan berbagai macam tulisan yang penuh dengan kata kata yang tidak enak untuk dibaca beserta tatapan sinis yang dapat ia rasa tertuju kepadanya,
“–Nggak enak aku benci mereka.”
Di tengah istirahat Ia pergi ke toilet, melewati sebuah ruangan berisi seorang guru, orangtua dan murid. Tanpa sengaja ia mendengarkan percakapan mereka,
“Apa maksudmu, kau tidak senang dengan bersekolah, nak? Bukankah sekolah tempat yang nyaman? Anggap saja sekolah sebagai rumah keduamu! Kamu dapat belajar banyak hal juga bertemu dengan teman–”
“Tetapi aku ga suka bersekolah! Sekolah itu membosankan!” Bantah anak itu
Maka, ia berpikir, “Apakah memang benar sekolah adalah tempat untuk berbahagia? Sebuah rumah, rumah kedua hanya dengan orang yang berbeda? Bagi anak yang ‘normal’ saja sekolah dianggap membosankan, bukankah sama dengan yang kualami sekarang? Aku hanya ingin berbahagia. Benar benar muak.”
Semua yang di dalam benaknya tidak dapat ia keluarkan, karena ia tahu yang mengalami nasib, dari ujung matanya dapat ia melihat anak lain sepertinya yang mengalami hal yang sama seperti dirinya seperti ini bukan hanya dia sendiri. Ia tidak dapat mengadu nasib hanya karena ini. Ia harus memikirkan orang lain juga, karena? Ia tidak boleh egois. Anak yang sepertinya, berkulit hitam juga bukan hanya dia. Ia harus ingat itu. Maka dari itu Ia berharap ketidakadilan ini dapat diatasi. Tetapi itu semua hanya harapan bukan?
Ketika sang Ayah sudah tidak kuat dengan lingkungannya, Ia pergi untuk menegakkan ketidakadilan ini, tetapi ia hanya kembali dengan tangan yang tidak ada isinya, tidak ada hasil.
Maka, muncullah impian, menginginkan kehidupan yang damai tanpa perlu memikirkan tersebut saat ia menginjak usia dewasa, ia berhasil menjadi seorang lawyer dari pekerjaan itulah ia berhasil. Secara perlahan tetapi dengan pasti, penuh keyakinan dan tekad, sekarang diskriminasi antara kulit sudah tidak terlihat lagi walaupun memang terlihat tetapi terdapat beberapa orang yang sudah dapat menanggapi orang berkulit hitam dengan baik. “Aku berhasil”, ia berpikir, setelah semua luka yang dia rasakan, ia tidak akan mengembalikan orang lain dengan luka tersebut, tetapi akan memulihkannya dengan menciptakan sebuah kedamaian bagi generasi selanjutnya agar mereka tidak merasakan apa yang orang orang yang di masa lalu rasakan. Anak atau tepatnya orang tersebut adalah Barack Obama, seorang lawyer yang telah berhasil menjadi presiden ke 44, serta presiden pertama yang berkulit hitam.
Ia percaya, hanya karena warna kulit kita yang berbeda, kekayaan bahkan jenjang pendidikan yang ditempuh itu berbeda, hal tersebut tidak seharusnya dipermasalahkan apalagi hingga munculnya sebuah demo hanya untuk mencapai kedamaian tersebut.