Pada hari sabtu pagi, anggota inti Diamond Gang sedang berkumpul di markas biasa. Kebetulan hari ini Canva mendapatkan shift kerja malam.
“Guys…” panggil Canva pada teman-temannya.
“Hm?” sahut Farzan.
“Gue pulang dulu ya,” pamit Canva.
“Mau kemana lo bro? Tumben balik cepet?” tanya Areksa dengan keheranan.
“Mau ke makam. Udah ya gue balik dulu, dadah.” ujar Canva setelah memakai jaketnya.
“Woke, ati-ati Va!” seru Marvin.
***
Setelah sampai di pemakaman, Canva bergegas turun dari motornya.
“Pah, mah, nek, Anva dateng lagi.” lirih Canva kemudian berjalan masuk ke dalam melewati pusara pusara, hingga akhirnya ia sampai di depan makan kedua orang tua nya dan neneknya.
“Hai, Anva dateng lagi.” ujar Canva dengan lirih sambil berjongkok di depan makam keluarga nya.
“Seperti biasa, Anva bawain mawar merah kesukaan kalian. Pasti kalian seneng kan?” tanya Canva.
Semakin ia berbicara, semakin sakit pula hatinya. Rasanya sesak kala mengingat bahwa mereka telah meninggalkannya untuk selama-lamanya. Mata cowok itu berair ketika meletakkan setangkai bunga mawar merah tepat di bawah batu nisan keluarganya.
“Keadaanya masih sama. Aku belum bisa menyusun hati yang hancur ini atas kepergian kalian.”
“Aku belum bisa relain kepergian kalian. Ini seperti mimpi. Kalian pernah janji kalau kita akan terus bersama-sama, kalian mau liat Anva sukses. Tapi, kenapa kalian malah pergi duluan? Kalian ninggalin Anva disini sendirian.” kepala Canva jatuh tepat di atas lengannya yang mengusap batu nisan ibunya.
Sakit, sangat sakit.
Air mata Canva luruh jatuh ke tanah. Tubuhnya terasa lemas. Hari-hari yang dilalui Canva terlalu suram dan sepi meski ia berada di keramaian.
“Mah, aku capek, aku capek harus berdiri sendirian di tengah kerasnya dunia ini. Aku setiap hari berada di keramaian, tapi kenapa aku selalu merasa kesepian?”
“Aku sekarang penyakitan mah. Aku udah jadi orang gila yang setiap bulan harus dateng ke psikiater. Besok, jadwal aku kontrol ke psikiater. Kalian doain sama jagain Anva dari atas sana ya? Nanti kalau udah waktunya Anva di jemput, Anva bakal nyusul kalian. Nanti kita kumpul lagi di dunia yang lebih indah.” Canva terus bermonolog sambil menangis di depan makam ibunya.
“Terimakasih untuk kebahagiannya selama ini. Kalian emang nggak ada di deket aku, tapi aku selalu bayangin kalau kalian ada di deket aku.”
“Aku pulang dulu ya, aku mau kerja. Nanti kapan kapan kalau ada waktu aku bakal kesini lagi. Aku sayang banget sama kalian.” ujar Canva sambil tersenyum pedih sekaligus pamit. Setelah pulang dari makam, Canva akan langsung pergi ke cafe untuk bekerja.
***
Tiba-tiba ditengah perjalanan, Canva merasakan sakit bukan main di dadanya. Dia meremas dadanya sekuat mungkin dengan nafas yang kian terasa sesak. Bahkan kini, pandangan matanya mengabur sehingga ia kesulitan untuk berkendara.
“Mama, sakit.” lirih Canva disertai dengan ringisan penuh sakitnya.
Telinga laki-laki itu berdengung kencang hingga membuatnya kesulitan untuk mendengar. Tanpa sadar, Canva melepaskan stang motornya dan beralih memegang kepalanya yang terasa seperti dihantam beton 20 kilo.
Seiring dengan itu, kecepatan motornya yang tinggi dan tidak terkendali, motornya menjadi oleng dan menabrak pembatas jalan dengan sangat kencang.
BRAKKK
Seiring dengan bunyi gesekan motor dengan aspal, tubuh laki-laki itu terpental beberapa meter kemudian menghantam aspal dengan kerasnya.
Rasa sakit dan perih bercampur menjadi satu.
Canva terbaring tak berdaya di atas aspal dengan darah yang bercucuran dimana mana. Canva merasakan sakit luar biasa yang tidak pernah dia alami sebelumnya.
Laki-laki itu merintih. Saking kesakitan nya, kedua ujung mata laki-laki itu meneteskan air mata. “Mama, papa, sakit.” setelah mengatakan kalimat tersebut, Canva langsung tak sadarkan diri.
***
Para anggota inti Diamod dan Azura berlarian di lorong rumah sakit setelah di telfon oleh pihak rumah sakit bahwa sahabatnya telah mengalami kecelakaan. Sesampainya di ruang UGD, dokter yang memeriksa kondisi Canva keluar dari UGD.
“Dok, bagaimana kondisi Canva?” tanya Samuel mewakili sahabat-sahabatnya.
“Keluarga pasien Canva Narendra? Saya ingin berbicara.” ujar Dokter yang memeriksa kondisi Canva.
“Saya sahabat nya.” jawab Areksa.
“Oh baiklah, anda bisa ikut keruangan saya” ajak dokter pada Areksa.
“Kalian disini aja, biar gue sama Areksa yang keruangan dokternya” ucap Samuel pada sahabat nya.
***
“Sebenarnya luka kecelakaan Canva tidak terlalu parah. Hanya saja, ia terus mengalami penurunan kesadaran akibat penyakit gagal ginjal kronis yang ia derita.” perkataan dokter itu memenuhi isi kepala para anggota inti Diamond Gang.
Kini Samuel berdiri mematung di sebelah brankar UGD RS BAGASKARA , menatap tubuh Canva yang terbaring tak berdaya di atas brankar.
“Kenapa lo bohongin kita semua Va?” ucap Samuel sambil menatap lurus ke depan dengan pandangan yang sulit di artikan.
“Kenapa lo nggak pernah bilang sama kita kalau lo punya penyakit?” monolog Samuel sambil menatap kosong Canva yang masih menutup erat matanya.
“Va, asal lo tau, gue merasa jadi sahabat yang nggak guna. Kenapa lo nyimpen semua sendirian? Kenapa lo nggak pernah cerita sama gue?” tanya Marvel yang sudah mengetahui semua dan merasa sedikit kecewa dengan Canva.
Merasa ada yang berbicara dengan nya, Canva perlahan membuka matanya. “Avel…. sakit, sakit banget rasanya.” lirih Canva sambil memegangi kepalanya.
“Va, kenapa lo nggak pernah cerita sama kita kalau lo punya penyakit?” tanya Marvin sambil menatap tubuh Canva yang di hiasi dengan luka.
“Gue cuma nggak mau ngerepotin kalian, gue nggak mau bikin kalian kepikiran.” Ucap Canva sambil menahan rasa sakitnya.
“Jujur, gue agak kecewa sama lo Va, lo udah nggak nganggep gue sebagai sahabat lo?” tanya Marvel dengan suara yang bergetar menahan tangis agar tidak pecah.
“Maaf…” hanya itu yang bisa Canva ucapkan.
“Bertahan ya Va, demi kita, demi masa depan lo juga. Lo katanya mau jadi orang sukses yang bisa ngebiayain kehidupan anak anak jalan, jadi bertahan Va, gue mohon” kini giliran Ilona yang angkat bicara sambil mengusap rambut Canva dengan lembut.
“Ini terlalu sakit Na, gue juga udah capek hidup kayak gini, gue nggak punya siapa siapa lagi di dunia ini setelah keluarga gue meninggal. Gue capek setiap satu minggu harus nahan sakit waktu cuci darah, gue capek setiap bulan harus bolak balik ke psikiater, gue capek harus nahan sakit lagi,” Canva menjeda ucapannya untuk mengambil nafas.
“Gue nggak sanggup. Untuk kali ini, gue beneran udah capek, gue mau nyerah aja rasanya.” ucap Canva dengan nafas yang mulai tersenggal-senggal.
“Semuanya udah selesai. Kalian semua harus bahagia, ya?” Canva mengedarkan pandangannya untuk menatap para sahabatnya.
“Lo nyuruh kita buat bahagia kan? Kalau lo sendiri gimana? Apa selama ini lo udah bahagia?” tanya Areksa. Canva menatap langit-langit rumah sakit dengan pandangan yang nanar.
“Gue nggak perlu itu, Sa. Tugas gue di dunia ini emang mau ngebahagian orang-orang.”
Lelaki itu lantas menatap Samuel dan Areksa yang berdiri sebelahan.
“Jagain dua adek gue ya? Mereka kadang suka bandel, jadi harus ekstra sabar,” ia terkekeh ringan dengan kedua sudut mata yang sudah mengeluarkan cairan bening.
“Apan… Apan nggak boleh pergi” ucap Azura sambil menangis.
“Sini,” panggil Canva dengan lembut pada Azura, ia pun lantas mendekat.
Tangan Canva yang lemah itu terangkat untuk mengusap air mata yang keluar dari kedua sudut mata Azura.
“Nggak boleh nangis, katanya anak pinter?” ucap Canva yang berusaha menghibur Azura.
“Lo itu penipu, munafik, dan lo juga egois. Lo terlalu mikirin kondisi orang lain padahal lo lagi nggak baik baik aja.” sahut Marvel yang berdiri agak jauh dari brankar Canva yang membuat Canva terkekeh ringan dan memilih tidak menanggapi ucapan Marvel.
“Buat Farzan,” Canva menatap Farzan yang berdiri di depan brankar yang ia tempati.
“Semangat ngajak balikan si Meyra.” ucap Canva pada Farzan, teman adu mulut nya.
“Buat lo, Marvin, si buaya kelas kadal, jangan suka mainin perasaan cewek lagi. Udah ada Bella kan? Perasaannya dijaga, jangan sampe lo kecewain Bella,” ucap Canva pada Marvin.
“Dan buat dua adek kesayangan gue, kalau kalian sedih, minta Marvin atau Farzan buat ngehibur kalian ya. Soalnya, gue udah nggak bisa.”
“Va, udah Va udah stop!” ucap Ilona yang sudah tidak kuat menahan sesak di dada nya.
Ilona semakin terisak saat Azura memeluknya.
Rasa sayang mereka berdua pada Canva sangat besar, melebihi luasnya samudra. Lelaki itu selalu berusaha untuk menjadi kakak yang baik bagi kedua adik adiknya, yang selalu berusaha membuat kedua adiknya bahagia.
“Dan untuk Samuel sama Areksa, pemimpin Diamond, tetep jadi orang hebat yang selama ini gue kenal ya? Kalian leader paling hebat yang pernah gue temuin,” Canva membiarkan air matanya jatuh karena ia sudah tak sanggup lagi untuk mengusapnya.
“Dan yang paling penting, jadiin adek adek gue, ratu di hati kalian ya. Jangan sakitin hati mereka, jangan sampai mereka nangis gara-gara ulah kalian berdua.”
Lelaki itu menghirup nafas dalam dalam kemudian menghembuskan nya secara perlahan.
“Dan yang terakhir, buat si batu, temen ngebadut gue.” Canva tertawa kecil menatap Marvel yang sedari tadi berdiam diri.
“Makasih, makasih udah jadi sahabat paling baik yang pernah gue kenal, makasih udah mau gue susahin.” ucap Canva pada Marvel.
“Thank you for everything, guys. Kalian sahabat terbaik gue.”
“Makasih udah mau gue jadiin tempat pulang saat gue lagi bener bener capek sama keadaan. Makasih udah mau nerima gue yang penyakitan ini. Makasih udah mau jadi rumah kedua gue setelah rumah pertama gue hancur. Kalau nanti gue udah nggak ada, jangan lupain gue, ya?” ujar Canva pada sahabat sahabat nya.
“Lo ngomong apaan sih? Lo harus sembuh. Gue rela ngurus lo 24 jam. Gue bakal ngasih semua hidup gue buat lo. TAPI LO HARUS SEMBUH, LO NGGAK BOLEH PERGI NINGGALIN GUE!” sahut Marvel.
“Lo yang ngajarin gue buat bersyukur, buat bisa ngehargain perempuan, lo yang selalu berusaha untuk bikin orang orang bahagia padahal lo sendiri lagi butuh kebahagiaan.” Marvel menangis meluapkan rasa sakit di hatinya.
“Maaf nggak bisa lama lama. Tolong ikhlasin gue buat melepas penat yang selama ini menjerat gue. Udah cukup sampai disini aja. Gue juga manusia biasa. Gue butuh istirahat.” ujar Canva sambil menahan sesak di dadanya.
Keadaan di ruang itu menjadi hening setelah Canva mengucapkan kalimat menyakitkan tersebut.
“Va, kalau emang lo beneran udah nggak sanggup, gue relain lo pergi, ada masanya juga lo bakal capek sama keadaan.” ucap Samuel dengan berat hati dan membuat yang lain ikut kompak menganggukkan kepalanya, kecuali Marvel.
Hal itu membuat Canva tersenyum tipis.
“Tinggal lo Vel, relain gue ya?” nada bicara Canva kian melemah.
Rasa sesak kian menyeruak di dada Marvel.
“Gue mungkin terlalu egois buat minta lo supaya nggak pergi. Rasanya nggak adil kalau orang sebaik lo harus pergi secepat ini. Tapi, gue juga nggak bisa biarin lo ngerasain sakit terus-terusan. Dan detik ini juga, gue ikhlasin kalau emang lo mau pergi dari dunia ini.” ujar Marvel dengan perasaan yang sangat amat tidak rela.
Mendengar itu, Canva tersenyum lebar. Sebentar lagi ia akan terbebas dari rasa sakit yang sudah lama ia rasakan.
“Gue duluan, ya? Nanti kalau masuk surga, gue… laporan lewat mimpi kalian.” setelah mengucapkan itu, kesadaran Canva langsung menurun drastis. Ia juga sempat dipindahkan ke ICU.
Tapi takdir berkata lain. Seorang Canva Narendra telah meninggal dunia pada 31 Agustus 2021.
“KITA BODOH! KITA DITIPU SAMA DIA” teriak Marvel yang menggema memenuhi lorong rumah sakit.
“Kita ditipu sama senyum palsu dia! Kita ditipu sama kata kata dia yang selalu bilang kalau dia baik-baik aja. Canva pembohong dan dengan bodohnya kita percaya kalau dia beneran baik-baik aja.” ucap Marvel yang terlihat frustasi.
Pintu ICU terbuka, kali ini muncul dua perawat yang mendorong brankar dan diikuti satu dokter.
Marvel yang paham jika mereka akan membawa jenazah Canva ke kamar jenazah pun mencegahnya.
“TUNGGU!” teriak Marvel.
Marvel berjalan ke arah sosok yang tubuhnya terbujur kaku di atas brankar. Tangan Marvel yang bergetar berusaha menyingkap kain putih yang menutupi tubuh Canva.
Marvel meletakkan kepalanya di sisi brankar setelah melihat wajah Canva yang pucat.
Disini yang paling terluka adalah Marvel. Cowok itu benar-benar merasa kehilangan yang begitu dalam dan menyakitkan.
“Va….” panggil Marvel.
“Bangun, Diamond butuh lo…” Marvel terus bermonolog sambil menatap jenazah Canva.
“Gue hancur, Va… gue hancur. Gue nggak mau kehilangan sahabat sebaik lo.” ujar Marvel yang menatap penuh luka ke arah jenazah Canva.
“Maafin kita yang nggak pernah tau kondisi lo Va.” ucap Samuel mewakili sahabat-sahabat nya.
“Canva itu definisi lelaki yang sempurna. Seumur hidupnya, dia nggak pernah yang namanya nyakitin hati perempuan. Dia bahkan nggak pernah mau pacaran. Katanya, pacaran itu haram. Lo bener bener bikin gue salut, Va. Hebat! Lo satu-satunya anggota Diamond paling hebat dan nggak pernah ada duanya.” ucap Marvin kemudian menangis sekencang-kencang nya di bahu Farzan.
“Gue…ikhlas, Va. “ ujar Marvel akhirnya.
“Kapan-kapan kita cerita lagi.”
Canva adalah penipu yang baik dan munafik.
Kawan, sekarang lepas penatmu. Kebahagiaan yang abadi telah siap menjemput mu.
Kami disini akan selalu mengingat pesan mu.
Selamat tinggal, malaikat kami.
***
“L-lo beneran Masnaka?” tanya Canva dengan perasaan yang sangat terkejut.
Bagaimana tidak? Seingat dia, dia telah meninggal karena kecelakaan dan penyakit yang di deritanya.
“Iya.” jawab Naka.
Jadi yang di depan Canva beneran Masnaka? Masnaka Restu Putra? Tokoh fiksi yang ada di dalam cerita fiksi 00.00 itu? Apa jangan-jangan dia mati terus bereikarnasi ke dalam dunia novel? Kalau iya, fiks Canva keren banget.
“Lo Canva kan? Canva Narendra?” tanya Naka.
“Iyaa, kok lo tau nama gue sih?” heran Canva.
“Nama lo terkenal banget disini,” jawab Naka.
“Ini sebenernya gue dimana sih?” tanya Canva keheranan.
“Dirumah gue.” jawab Naka dengan enteng.
“HAH?! SERIUS? DEMI APA?” pekik Canva.
“Hm,” jawab Naka.
“Bentar bentar, ini gue reinkarnasi gitu ceritanya?” tanya Canva pada Naka.
“Iya mungkin.” jawab Naka seadanya.
“Lah? Tadi emang lo nemuin gue dimana?” tanya Canva.
“Di teras kontrakan gue, lo kayak lagi pingsan makannya gue bawa lo masuk. Dan lo sebenernya lagi ngapain di dunia lo sampe nyasar ke dunia gue?” kini giliran Naka yang bertanya pada Canva.
“Sebenernya, di dunia gue, gue udah meninggal karena kecelakaan dan sakit yang gue derita.” jelas Canva sejujur-jujurnya.
“Lo sakit? Sakit apa lo?” tanya Masnaka sambil menatap Canva.
“Emmmm…..gue nggak usah bilang deh, lo udah sibuk sama Lengkara dan diri lo sendiri, nanti kalau gue cerita gue malah nambah beban lo. Lagian kan katanya gue terkenal di dunia Lo, masa Lo nggak tau penyakit gue?” ucap Canva yang merasa tidak enak.
“Engga, cerita aja kenapa sih?” Naka memaksa Canva untuk bercerita padanya.
“Ya udah gue cerita sama lo.” Canva pun mulai menceritakan kehidupan nya pada Naka tanpa ada yang ditutupi.
“Nah kan gue udah cerita, sekarang giliran lo yang cerita sama gue.” ucap Canva diakhiri dengan kekehan kecil.
Naka mulai menarik nafas membuat Canva kembali mengingat potongan-potongan cerita 00.00. Ia tahu, tahu jika Naka juga menderita, tahu jika Naka mempunyai penyakit kanker jantung, tahu jika Naka menyimpan banyak luka, tahu tentang semua yang laki-laki itu sembunyikan. Sama persis seperti dirinya. Dan ia juga tahu tentang bagaimana laki-laki itu rela berkorban demi gadis-nya.
“Gue yakin lo udah tau semuanya, Va. Gue tokoh fiksi di dunia lo kan? pasti lo udah tau tentang gue.” bukannya cerita, Naka malah mengatakan hal lain.
Canva yang mendengar Naka berbicara seperti itu pun hanya diam mematung.
“Kita itu sama Va, sama-sama diciptakan hanya untuk merasakan sakit.” ucap Masnaka.
***
Setelah enam bulan Canva berada di dunia 00.00. Selama itu juga Canva tinggal bersama Masnaka di kontrakan Naka. Pagi itu, Canva sedang fokus memasak untuk sarapan dan bekal untuk Masnaka karena Masnaka tidak diizinkan untuk makan sembarangan oleh dokter.
”Ka, udah belum mandinya? Cepetan!! Keburu masakannya dingin. Lagian lo udah kayak anak cewek tau nggak? Mandi nya lama banget, gue juga mau mandi!” oceh Canva sambil menunggu Naka keluar dari kamar mandi.
“Sabar Va, ngomel mulu dri kemaren, lagi PMS ya?” tanya Naka yang membuat Canva emosi.
“Lo amnesia atau gimana, Ka? JELAS JELAS GUE COWOK, MASA BISA PMS?” jawab Canva dengan sedikit ngegas.
“Ya santai dong, ngegas mulu,” ucap Naka.
“Bodoamat.” sahut Canva ketus.
“Udah sana lo sarapan, gue mau mandi. Minggir lo!” ucap Canva diakhiri dengan nada bicara yang ketus.
“Marah-marah mulu neng, cepet tua loh ntar.” goda Naka yang diacuhkan oleh Canva.
Lalu Naka berjalan menuju arah meja makan. Saat ia sedang makan dengan damai, Canva tiba-tiba datang dari arah belakang sambil bernyanyi dengan nada yang cukup keras, dan itu berhasil membuat nya kaget.
“Astaga ngagetin aja lo, Va.” ujar Naka sambil mengelus dadanya.
“Hehe, sorry,” jawab Canva sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal.
“Lo nggak makan?” tanya Naka sambil melanjutkan acara sarapannya yang sempat terganggu tadi.
“Ngga, ntar aja, mau nyiapin bekal buat lo dulu.” ujar Canva lalu berlalu dari meja makan menuju dapur.
“Hati-hati ya cantik, awas kepleset lagi kayak kemarin.” goda Naka yang dibalas pelototan tajam oleh Canva.
“Gue cowok ya, Ka. Gue tuh ganteng bukan cantik. Lagian lo kenapa sih? Suka banget ngegoda orang akhir-akhir ini?” ucap Canva yang tidak terima dikatain cantik.
“Engga tuh, gue ngga godain siapa-siapa. Gue cuma godain lo doang.” ucap Naka dengan santai.
“Apasih ga jelas lo, tau ah, pagi-pagi mood gue rusak gara-gara lo ya,” sinis Canva pada Naka.
“Hehehe, ya udah deh, maaf yaa..” ucap Naka meminta maaf karena ia takut jika Canva sedang mode galak.
“Hm.” Hanya itu yang Canva ucapkan sebelum pergi ke dapur untuk menyiapkan bekal.
Setelah Naka selesai sarapan, bertepatan dengan Canva berjalan keluar dari dapur.
“Nih bekalnya, dihabisin loh ya! Awas kalau nggak dihabisin,” ujar Canva sambil menyodorkan kotak bekal yang sudah ia siapkan tadi.
“Siap, makasih Va.” ucap Naka sambil menerima bekal dari Canva.
“Iya, masama. Ati-ati ya, nggak usah ngebut bawa motornya. Obat lo udah dibawa kan?” ucap Canva yang memberi wejangan sekaligus pertanyaan untuk Naka.
“Udah, Va. Cerewet banget sih.” ucap Naka yang gemas dengan tingkah Canva sambil mengacak-acak rambut Canva.
“Gue cerewet gini juga demi kesehatan lo, Ka.” sahut Canva dengan ketus.
“Hahaha iya-iyaa, ya udah gue berangkat dulu ya, dadah” pamit Naka lalu menuju ke pintu.
“Oke, hati-hati, Ka.” jawab Canva sambil mengikuti Naka menuju ke arah pintu.
“Heem.”
Setelah sudah siap dengan motornya, Masnaka melambaikan tangan nya ke arah Canva yang berdiri di depan pintu sambil tersenyum manis.
Canva yang melihat itu pun ikut melambaikan tangan nya ke arah Naka sambil tersenyum.
Sesudah Masnaka berangkat, kini giliran Canva yang akan memakan sarapan nya.
Setelah selesai sarapan, Canva mulai membersihkan kontrakan Naka, seperti menyapu, mengepel, dan lain sebagainya. Karena yang bekerja hanya Naka, jadi ia memilih membantu Naka dengan cara membersihkan kontrakannya.
***
Saat sedang asik menyapu tiba-tiba pintu rumah nya diketuk dengan kencang.
Tok…tok…tok
Pintu diketuk semakin kencang membuat Canva berjalan tergesa ke arah pintu.
“Sabar napa elah,” ucap Canva setalah membuka pintu.
“Naka, Va,” ucap Sekala begitu Canva membuka pintu.
“Hah? Naka kenapa?” tanya Canva khawatir tapi tidak mendapat jawaban dari Sekala.
“Jawab elah, Naka kenapa? Penyakitnya kambuh lagi?” desak Canva pada Sekala.
“Naka… udah nggak ada Va,” jawab Sekala lirih.
“Hah? Nggak ada gimana? Dia lagi kerja, Kal. Nggak usah aneh-aneh.” sahut Canva dengan suara yang bergetar menahan tangis.
“Gue nggak aneh-aneh, Naka emang udah nggak ada. Tadi pagi waktu dia mau berangkat kerja, dia kecelakaan.” jelas Sekala.
“NGGAK! NAKA NGGAK MUNGKIN MENINGGAL, TADI PAGI DIA MASIH BAIK-BAIK AJA, KAL. BERCANDA LO NGGAK LUCU!” pekik Canva yang belum bisa menerima kenyataan bahwa Masnaka sudah meninggal dunia.
“Lo harus bisa nerima kenyataan nya, Va. Sekarang kita masuk dulu ya.” ucap Sekala lalu menuntun tubuh lemas Canva untuk masuk ke kontrakan Masnaka.
“Kalau lo mau nangis, nangis aja gapapa. Nangis yang kenceng, luapin semua nya.” ucap Sekala yang sama terlukanya dengan Canva tapi berusaha terlihat kuat di depan Canva karena ia tak mau melihat Canva tambah bersedih jika melihat ia menangis.
Canva yang mendengar itu lalu menjatuhkan kepalanya di bahu Sekala lalu ia menangis sekencang mungkin di sana.
Setelah cukup lama menangis, Sekala yang merasa Canva sudah tidak menangis sekencang tadi, perlahan mengangkat kepala Canva lalu mengusap pipi Canva yang sudah dibanjiri air mata.
“Udah nangisnya? Sekarang lo nggak boleh nangis lagi. Air matanya sisain buat besok. Nggak boleh dihabisin sekarang.” ucap Sekala yang berusaha untuk menghibur Canva.
“Kenapa harus sekarang, Kal? Ini terlalu tiba-tiba buat gue. Rasanya kita barusan kenal, tapi kenapa dia malah pergi secepat itu?” tanya Canva sambil terisak di bahu Sekala.
“Ini takdir, Va.” ujar Sekala.
Setelah cukup lama menenangkan Canva, Sekala pamit karena ia harus mengurus jenazah Masnaka sesegera mungkin.
“Gue pulang ya, lo jangan nagis terus, kasian mata lo.” pamit Sekala.
“Iya, hati-hati ya, Kal. Makasih udah mau nemenin gue.” balas Canva yang hanya dibalas acungan jempol oleh Sekala.
Setelah Sekala pulang, Canva hanya mampu berdiam diri di kamar sambil menangis.
Biarlah jenazah Masnaka menjadi urusan Sekala, karena ia tak sanggup jika harus melihat jenazah Masnaka.
“Lo bener, Ka. Kita hanyalah sepasang luka yang berakhir duka.” Canva terus bermonolog sambil menangis di dalam kamar Masnaka.
“Selamat tidur walau tak bangun lagi, Masnaka Restu Putra, seorang lelaki hebat yang tak ada duanya.” ucap Canva sebelum memejamkan matanya erat.
***
Pagi ini Canva sudah rapi dengan baju dan celana hitam yang melekat pada tubuhnya. Hari ini ia akan ke makam Masnaka.
Masnaka sudah dimakamkan kemarin sore, Canva sengaja tidak ikut dalam acara pemakaman Masnaka karna ia yakin ia tidak akan sanggup melihat wajah Masnaka untuk yang terakhir kalinya.
Untuk pergi ke makam Naka, ia akan di antar oleh Sekala.
“Gue dateng, Ka.” lirih Canva sambil menatap pantulan diri nya di cermin.
Saat mengunci pintu kontrakan, Sekala datang dengan mobil nya.
“Udah siap?” tanya Sekala.
“Udah.” jawab Canva dengan ragu.
“Oke, yok kita berangkat sekarang.” ajak Sekala yang hanya dijawab anggukan kepala oleh Canva.
“Lo ngapain bawa boneka?” tanya Sekala yang keheranan.
“Ini boneka pemberian Naka. Gue mau naruh ini di makam Naka.” jawab Canva yang hanya dibalas senyum hangat milik Sekala.
Mobil Sekala mulai meninggalkan pekarangan kontrakan Naka. Jam di pergelangan tangan Canva menunjukkan pukul 9 pagi.
Dua orang itu sedang duduk di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. Tak ada yang membuka suara selama perjalanan, dua orang itu sibuk pada pikirannya masing-masing.
Perjalanan ke makam kurang lebih 20 menit.
Sekala memarkirkan mobil nya di depan gapura yang bertuliskan “Tempat Pemakaman Umum”.
“Udah sampe, Va.” ujar Sekala yang dibalas deheman oleh Canva.
“Makasih Kal, udah mau nganterin gue. Lo bisa pulang duluan, nanti gue pulang sendiri.” ucap Canva pada Sekala.
“Nggak! Gue bakal tungguin lo sampe selesai.” ucap Sekala dengan tegas.
“Hm, iya deh terserah lo aja.” jawab Canva dengan pasrah.
“Tapi lo tunggu di sini aja ya?” sambung Canva.
“Iya, kalau ada apa-apa telfon gue ya.” jawab Sekala yang dibalas anggukan kepala oleh Canva.
Canva berjalan sendiri melewati pusara-pusara dengan tatapan kosong. Suara gemuruh guntur tertangkap di pendengaran Canva.
Lelaki itu berhenti tepat di depan makam dengan batu nisan yang bertuliskan nama sahabatnya.
Masnaka Restu Putra.
Tak dapat disangkal bahwa rasanya sangat sakit.
Ia duduk di sebelah makam laki-laki itu, dan menaruh boneka boba pemberian Masnaka yang diberi nama Babo.
“Hai, Ka….” sapa lelaki itu dengan suara yang bergetar.
“Ini gue, Anva. Gue dateng, Ka.” lirih lelaki itu.
Tangannya perlahan naik untuk mengusap batu nisan di depannya. Mata lelaki perlahan memburam karena tertutup air mata.
Kelopak matanya perlahan tertutup bersamaan dengan kedua tangannya menengadah. Ia berdoa sambil menangis di sebelah makam Naka, sesekali isakan yang berusaha ia tahan terlepas keluar dari bibirnya.
Setelah selesai berdoa, ia perlahan membuka matanya yang udah memerah.
“Maafin gue ya, Ka. Gue nggak ada di saat proses pemakaman lo,” lirih lelaki itu.
Tak ada jawaban. Hanya ada suara angin yang berhembus dengan kencang.
“Gue nggak kuat kalau harus liat jasad lo untuk yang terakhir kalinya.” bahu Canva bergetar karena menahan tangis.
Semua terasa sangat menyakitkan. Rasanya begitu sesak berbicara kepada angin yang sampai kapan pun tak akan bisa menjawab.
“Maaf ya, Ka. Maaf belum bisa ikhlasin lo pergi.” bisiknya yang terdengar menyakitkan.
Canva kembali merutuki dirinya yang tak sanggup melihat wajah Masnaka untuk terakhir kalinya sehingga tidak bisa mengikuti proses pemakaman Naka.
Ia kembali duduk dengan tegap. Dengan tangan yang bergetar, ia mengambil beberapa notes warna warni berbentuk persegi di dalam saku celana nya.
Untuk kesekian kalinya, masih dengan air matanya yang senantiasa mengalir dari kedua sudut mata.
Canva kembali membaca tulisan tulisan tangan Masnaka di notes itu.
“Kita punya keinginan, semesta punya kenyataan dan Tuhan punya keputusan.”
“Kita nggak pernah dikasih kekuatan untuk melawan. Kita terlalu kecil untuk semesta yang besar ini. Kita terlalu lemah untuk semesta yang jahat ini.”
“Jangan pernah capek jadi orang baik.”
“Senyumnya jangan sampai hilang, ya?”
Canva tersenyum diantara linangan air matanya. Satu per satu tetesan air jatuh dari langit disertai guntur yang terdengar semakin jelas.
“Gue tau Lo nggak sekuat itu.”
“Terlihat manis, kan? tapi jangan terlena sama yang manis. Kadang, manis itu menyakitkan.”
“Tidak perlu khawatir perihal masa depan. Karena semuanya sudah tersusun rapi dan sudah pasti diatur oleh Tuhan.”
“Tuhan, aku percaya, setelah kesedihan, kebahagiaan itu pasti nyata adanya.”
“Luka itu pasti ada dan Tuhan nggak akan pernah lupa buat ngasih obatnya.”
Tangis Canva kembali pecah.
Canva berdiri dari duduknya.
Kepalanya menengadah ke atas menikmati setiap tetesan air hujan yang mengenai tubuhnya. Ia membiarkan air matanya jatuh bersamaan air hujan yang jatuh.
“MAKASIH DAN MAAF UNTUK SEMUANYA, NAKAAA!” teriak lelaki itu tiba-tiba.
“MAKASIH UDAH MAU NERIMA GUE SEBAGAI SAHABAT LO. DAN MAAF KALAU GUE SELAMA INI SELALU NYUSAHIN LO,” teriaknya tenggelam di antara derasnya hujan yang menguyur tubuhnya.
Ia melepaskan seluruh rasa sakit dan sesak yang tak tertahan.
“Seribu yang datang, nggak akan bisa menggantikan satu yang pergi, Ka. Lo sahabat terbaik bagi gue setelah Marvel.” tubuh Canva terjatuh lemas ke tanah.
Hari itu, hujan kembali turun dengan deras. Seolah-olah tak membiarkan Canva menangis sendirian di makam Masnaka.
Hujan juga mengerti kenapa harus turun.
Masnaka telah pergi, meninggalkan luka yang abadi.
Masnaka telah tiada, meninggalkan berjuta kenangan yang ada.
“Selamat jalan kawan. Ragamu memang pergi, tapi jiwamu tetap abadi di dalam benak kami.” -Canva Narendra & Sekala Samudra.
END