Oleh: Maureen Nichele Lin

SMP Marsudirini Maria Mediatrix Semarang

Keringat bercucuran tidak menghentikan kobaran api semangat dari para pahlawan pembela bangsa. Lara yang terukir di kulit keras nan kasar mereka pun mungkin tidak terhitung jari lagi. Kota Semarang, tempat yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan dan kesejahteraan, kini terancam akibat tindakan gegabah mereka. Orang tidak bersalah terluka, para pemuda-pemudi yang semestinya cukup memperjuangkan hidup mereka sendiri yang sudah tak bisa dikatakan mudah, turut gugur dalam medan perang, hingga anak-anak polos tak bernoda pun tiada. Apakah hidup damai itu sungguh ada? Atau mungkin memang hanya belum waktunya? Atau, sekadar angan-angan belaka?

Agaknya, kemerdekaan memang bukanlah akhir dari kisah perjuangan para pahlawan. Kala itu, saat jam di dinding menunjukkan waktu 13.00 WIB, puluhan hingga ratusan telinga terpasang mendengar siaran dari radio yang terkenal pada zamannya itu menyampaikan bahwa kekuasaan berpindah dari tangan Jepang ke Indonesia. Semangat yang telah luntur seketika bangkit kembali dari diri para pemuda Semarang pada pertengahan bulan Agustus itu.

Namun, hukum kesempatan dalam kesempitan berlaku. Dengan strategi yang sudah disusun sedemikian rupa, 400 tawanan Jepang yang tengah diangkut melarikan diri begitu saja dan bergabung dengan pasukan Kidobutai dibawah pimpinan Jenderal Nakamura dan Mayor Kido yang berpangkalan di Jatingaleh. Meluaplah amarah pemuda-pemuda begitu mendengar kabar angin mengenai pasukan Kidobutai akan melakukan serangan balasan. Maka dari itu, dimulailah pertempuran menegangkan yang terkenal dengan sebutan Pertempuran Lima Hari di Semarang.

Mentari perlahan menyinari langit Semarang, ditemani kicauan burung merdu bagai irama surgawi. Namun, suasana yang hangat itu sayangnya tidak sesuai dengan peristiwa yang akan terjadi. Entah dari inisiatif diri sendiri ataupun perintah orang yang lebih berkuasa, para pemuda menanti mobil Jepang milik Kempetai di depan Rumah Sakit Purusara. Pencegatan, pembongkaran paksa, perampasan pun terjadi. Tidak berhenti sampai di situ, kala senja tiba, pemuda-pemuda melancarkan penjeblosan terhadap para tentara Jepang. Geram, secara serentak pasukan Jepang menyerang sekaligus melucuti delapan polisi yang sigap menaungi Reservoir Siranda, sumber air bagi warga Semarang. Kejamnya lagi, ditebarkan racun di sumber air tersebut. Rakyat mulai ricuh, panik. Dr. Kariadi yang menjabat kepala Laboratorium Purusara segera memutuskan untuk pergi memeriksa. Istrinya, merasa ada yang tidak beres, berusaha mencegah Dr. Kariadi untuk ke sana. Namun, hati Dr. Kariadi berkata lain, ia merasa berkewajiban memastikan kebenaran desas-desus tersebut mengetahui hal ini menyangkut nyawa ribuan insan. Firasat memang tak pintar berbohong, sebelum dapat tiba di sana, ia mati ditembak tentara Jepang secara keji. Di umurnya yang baru menginjak 40 tahun, gugur.

Esoknya, pertempuran semakin panas, para pemuda Semarang didukung TKR Yberhadapan dengan ribuan tentara Jepang. Apakah empat benar angka pembawa sial? Empat titik di Semarang menjadi saksi bisu ricuhnya pertempuran dari tanggal 15 hingga 16 Oktober 1945. Pasukan Jepang yang tunduk pada pimpinan mereka, Mayor Kido, berhasil merebut Penjara Bulu dan dengan sadis mengeksekusi tawanan dalam skala besar. Hari silih berganti, Gubernur K.R.M.T. Wongsonegoro, dibawa ke Penjara Bulu, menyaksikan dalam diam orang-orang yang mati terbunuh. Memegang suatu kesepakatan yang dapat mengubah sejarah, Wongsonegoro mengumumkan adanya kesepakatan damai untuk menyelenggarakan gencatan senjata dengan pasukan Jepang. Namun Jepang tetap kekeh meneruskan pertempuran.

Pada tanggal 19 Oktober 1945, hari di mana pasukan Jepang merebut wilayah pelabuhan. Semarang rasanya nyaris terikat sepenuhnya kembali dengan luka yang lama saat masa-masa pendudukan Jepang. Pada hari yang sama, datanglah kapal-kapal berlayar membawa pihak Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethell guna mengurus tawanan perang dan pasukan Jepang yang masih berada di Jawa Tengah. Di sinilah sang tokoh pembela bangsa mulai berperan, tak terkenal bukan berarti tak berjasa, Kasman Singodimedjo. Ia seorang jaksa agung, mengharumkan nama tempat kelahirannya, Purworejo, Jawa Tengah. Seorang pejuang yang lahir tanggal 25 Februari pada tahun 1904 satu ini menjadi pembicara, pribadi yang mewakili Indonesia untuk berunding dengan perwakilan dari pihak Jepang dan Sekutu. Ia tentunya tidak sendiri, bersama Mr. Sartono yang turut mewakili, didampingi juga oleh K.R.M.T. Wongsonegoro. Perwakilan dari pihak Jepang kali itu ialah Komandan Pasukan Jepang Letnan Kolonel Nomura, sedangkan perwakilan pihak Sekutu ialah Brigadir Jenderal Bethell.

Pembahasan dimulai, ruang perundingan menjadi tegang. Detak jarum jam di dinding terdengar dengan sangat jelas. Jenderal Bethell yang pertama angkat bicara.

“Melihat pertempuran yang sengit dan sudah merenggut banyak nyawa ini, silakan perwakilan Indonesia dapat menyampaikan pendapat dan gagasannya disertai dengan penjelasan yang runtut kemudian dilanjutkan dengan pihak Jepang.”

Wongsonegoro menjelaskan dengan rinci terkait kerugian antara kedua belah pihak dan berbagai permasalahan lainnya. Pihak Jepang pun menyatakan telah menyepakati gencatan senjata.

“Maka, saya mewakili Indonesia meminta penghentian kegiatan tembak-menembak dan permusuhan serta saya harap pasukan Jepang membebaskan orang Indonesia yang telah ditawan.” ungkap Kasman Singodimedjo.

Perundingan pun telah terlaksana dengan baik. Kedua belah pihak menyetujui permintaan dari Kasman. Tentara Jepang juga dikonsinyir di markas mereka. Sementara itu, pasukan TKR dan laskar-laskar lainnya mundur ke beberapa tempat untuk menghadapi perkembangan pertempuran lebih lanjut. Setelah dilucutinya senjata tentara Jepang, pertempuran ini resmi dinyatakan usai. Kesejahteraan rakyat Semarang mulai bangkit kembali. Rumah-rumah yang hancur akibat perang juga dibangun ulang. Peristiwa pertempuran 5 hari di Semarang ini dikenang dengan dibangunnya sebuah tugu yang sekarang ini disebut Tugu Muda. Kasman Singodimedjo yang teringat kembali akan saat-saat peperangan, di mana terjadi pertumpahan darah melangkah perlahan menyusuri jalanan di Semarang. Yang seketika itu menemukan kawannya, tengah memandang semacam tugu yang bahkan belum selesai dibangun itu. Perlahan namun pasti, Kasman menepuk bahu Wongsonegoro sembari tersenyum tipis. Kedua netranya fokus akan pembangunan tugu yang nantinya akan menjadi pengingat bagi calon penerus bangsa. Pengingat akan semangat juang dan patriotisme warga Semarang kala itu.

Sumber literasi:

https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/Pertempuran_Lima_Hari_di_Semarang

https://daerah.sindonews.com/berita/1248565/29/tugu-muda-wongsonegoro-dan-pertempuran-5-hari-semarang

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Lima_Hari

https://regional.kompas.com/read/2023/07/20/234125578/siapa-saja-tokoh-pertempuran-lima-hari-di-semarang?page=all

https://www-detik-com.cdn.ampproject.org/v/s/www.detik.com/edu/detikpedia/d-7044744/sejarah-pertempuran-lima-hari-di-semarang-ini-kronologinya/amp?amp_gsa=1&amp_js_v=a9&usqp=mq331AQIUAKwASCAAgM%3D#amp_tf=Dari%20%251%24s&aoh=17315096131448&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&ampshare=https%3A%2F%2Fwww.detik.com%2Fedu%2Fdetikpedia%2Fd-7044744%2Fsejarah-pertempuran-lima-hari-di-semarang-ini-kronologinya