Semarang Berduka: Lima Hari Tragedi
By: Clarissa Florensya Orie
SMP MARSUDIRINI MARIA MEDIATRIX
Suara deru mobil tentara berjalan dengan kecepatan sedang di atas tanah. Suara roda mobil yang menangis karena bergesekan dengan tanah penuh batu, juga karena beban yang ia tanggung begitu berat. Suara borgol yang saling bergesekan terdengar nyaring dan suara deru napas yang perlahan semakin membara. Kau tahu? Inilah awal dari kisah kelam Semarang. Suara riuh para pemuda mulai terdengar, dengan para tahanan Jepang yang mulai berlari menyelamatkan diri. Waktu terasa begitu lama, mereka berlari dan bergabung dengan pasukan Kidō Butai. Muncullah sang Jenderal. Jenderal Nakamura, dan Mayornya, Mayor Kido. Mereka berdiri di depan 2000 pasukan terlatih yang siap bergerak kapan saja, langit Jatingaleh seolah ikut meramaikan suasana dengan panasnya terik matahari pada hari itu. Para pemuda yang malang, mereka mengambil sebuah keputusan untuk melarikan diri dari sana dan merancang sebuah rencana untuk kembali menangkap para tahanan Jepang yang melarikan diri. Minggu, 14 Oktober 1945. Disinilah prolog dari perang dingin di Semarang.
Hari Minggu ini terasa begitu menegangkan, sudah menjelang pagi tetapi belum waktunya bagi para pejuang bangsa untuk beristirahat dari medan perang. Mereka bersiap di tempat mereka, menunggu mangsa mereka untuk datang dan menerkam mereka seperti seekor macan yang licik. Dengan sabar mereka menunggu, hingga mobil Sedan hitam milik Kempetai melaju di depan Rumah Sakit Purusara. Mobil itu membawa kunci kemenangan mereka, dengan kuasa yang mereka miliki. Para pemuda itu mulai mencegat dan merampas senjata yang ada di dalam mobil itu. Menjelang gelap, para pemburu mulai aktif untuk menangkap mangsa mereka dan memerangkap mereka di dalam kandang. Mulailah para pejuang itu bergerak menangkap tentara Jepang yang lepas, seolah takdir tidak sejalan dengan mereka. Sebaliknya, mangsa mereka sudah berseragam dalam senjata terbaik mereka, memberikan serangan dadakan pada para pejuang bangsa dengan agresif. Bahkan memukul mundur 8 Polisi Istimewa yang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Hari itu juga, tersiar kabar racun yang menyebar di Reservoir itu. Salah satu pahlawan bangsa kita segera bergegas untuk pergi memeriksa Reservoir itu, mirisnya, bahkan tanpa adanya kepastian yang jelas tubuhnya ditemukan sudah tertidur, meninggalkan kenangan pahit bagi para pejuang muda. Sebuah kenangan yang tidak terlupakan, sungguh malang, bahkan dirinya belum menginjak usia setengah abad. Akhirnya sang gubernur mulai bergerak, dari sinilah kisah kelam Semarang yang awalnya hampir tidak ada harapan, akhirnya menemukan titik terang mereka. Gubernur Jawa Tengah, Mr. Wongsonegoro akhirnya mulai turun tangan dalam pertempuran dingin ini.
Kanjeng Raden Mas Tumenggung Wongsonegoro, kelahiran 1897 pada tanggal 20 April di Surakarta. Yang kisah hidupnya tidak semudah itu, dan jiwanya yang berpegang penuh pada keadilan bagi saudara-saudarinya yang telah gugur dalam medan perang. Wongsonegoro dibawa oleh tentara Jepang ke penjara Bulu untuk menyaksikan mayat-mayat tentara Jepang yang telah gugur bertebaran di penjara itu. Wongsonegoro hanya dapat menyaksikan dalam bisu dan saat ia keluar dari penjara Bulu, Wongsonegoro dengan detak jantung yang berdegup kencang mengambil jalur menuju ke kediaman Ir. Soekarno. Menceritakan semua keadaan rakyat Semarang yang mulai lemah dan kondisi lautan jasad tentara Jepang di penjara Bulu. Ir. Soekarno mulai mempertimbangkan segala kondisi yang terjadi pada saat ini, dan mengundang salah satu Panglima Legiun (Angkatan Darat ke-16 Jepang di Jawa) ke kediamannya untuk merundingkan kesekapatan perdamaian antara tentara Jepang dan para pejuang Bangsa bersama dengan Wongsonegoro. Mereka menunggu selama beberapa lama, waktu terasa begitu lambat bagi mereka berdua. Tibalah saat dimana Panglima Legiun tiba di kediaman Ir. Soekarno. Dan mulailah mereka menggelar perundingan untuk mendapatkan keputusan terbaik bagi kedua belah pihak.
“Kami tidak akan memakan waktu yang banyak, Panglima Legiun.” kata Ir. Soekarno membuka topik pembicaraan.
“Baiklah, saya juga tidak akan banyak memakan waktu dan tempat anda.” kata Panglima Legiun, seolah mengizinkan mereka lebih dahulu mengajukan perundingan.
“Kami ingin mengajukan genjatan senjata.” kata Wongsonegoro tanpa adanya basa-basi.
“Anda melakukan tindakan yang sungguh blak-blakan tuan. Baiklah, atas dasar pertimbangan apa yang anda miliki untuk mengajukan gencatan senjata?” tanya Panglima Legiun.
“Kami mempertimbangkan dari faktor kedua belah pihak. Pertama, fakta bahwa sudah banyak korban berjatuhan dari pertempuran ini. Kedua, fakta bahwa dari kedua pihak juga di rugikan atas pertempuran ini.” kata Wongsonegoro.
“Memang dari kedua belah pihak mengalami kerugian yang cukup besar tanpa adanya imbalan yang besar bagi kami maupun kalian.” kata Panglima Legiun.
“Itu adalah alasan kami mengajukan gencatan senjata, dengan gencatan senjata semua dapat dilakukan dengan cara kekeluargaan. Sehingga tidak akan ada pihak yang dirugikan.” kata Ir. Soekarno. Panglima Legiun menghabiskan beberapa saat untuk mempertimbangkan keputusan ini, keputusan yang sulit baginya.
“Baiklah, kami sepakat untuk melakukan gencatan senjata.” kata Panglima Legiun.
Raut wajah lega terpapar di wajah Wongsonegoro dan Ir. Soekarno, seketika pundak mereka terasa sedikit ringan mendengarkan persetujuan itu. Setelah perundingan itu, Wongsonegoro mengumumkan adanya kesepatan untuk gencatan senjata dengan pasukan Jepang. Rasa khawatir, cemas, dan takut rakyat Semarang seketika sirna ketika mendengarkan pengumuman itu. Bersukacitalah citalah hati mereka, seolah luka yang direndam dalam air laut itu mendadak sirna dan sembuh.
Tetapi, meskipun gencatan senjata sudah dilakukan. Pasukan Jepang tidak berhenti menyerang Semarang, terus melanjutkan pertempuran untuk melakukan perebutan Pelabuhan. Itu terjadi pada tanggal 19 Oktober 1945. Pada saat itu, seluruh wilayah Semarang seperti kembali di bawah pendudukan Jepang. Pada hari yang sama, kapal yang mengangkut militer Britania HMS Glenroy berlabuh di Semarang dan menurunkan pasukan brigade Britania-India di bawah kepemimpinan Brigadir Jenderal Bethell sebagai pihak Sekutu. Kedatangan pasukan Sekutu, yang juga diboncengi oleh NICA (Nederlandsch Indische Civiele Administratie), tentunya bertujuan untuk mengurus tawanan perang dan pasukan Jepang yang masih berada di Jawa Tengah.
Lalu, pada 20 Oktober 1945 diadakan perundingan lagi dengan bantuan dari pihak sekutu. Pusat pemerintahan meminta Kasman Singodimedjo dan R.M. Sartono untuk mewakili Pemerintah Republik Indonesia dengan K.R.M.T. Wongsonegoro sebagai pendamping mereka dalam perundingan. Sedangkah pasukan Jepang yang diwakili oleh Komandan Pasukan Jepang Letnan Kolonel Nomura, serta pasukan Sekutu yang diwakili oleh Brigadir Jenderal Bethell. Dalam perundingan itu, Jenderal Bethell membuka perundingan itu dengan beberapa kata.
“Perundingan gencatan senjata ini telah dimulai, saya akan mempersilahkan perwakilan dari Pemerintah Republik Indonesia lebih dahulu mengajukan gencatan senjata dengan pertimbangan dan bukti-bukti yang dimiliki.” kata sang Jenderal. Setelah itu, Wongsonegoro mulai membuka percakapan.
“Kami mempertimbangkan dari faktor kedua belah pihak. Pertama, fakta bahwa sudah banyak korban berjatuhan dari pertempuran ini. Kedua, fakta bahwa dari kedua pihak juga di rugikan atas pertempuran ini. Dan ini adalah sekumpulan data yang telah kami kumpulkan atas kerugian yang sudah kami pertimbangkan.” kata Wongsonegoro dan menyerahkan setumpuk kertas yang berisikan data-data dari kerugian yang telah terjadi.
“Baiklah, bagaimana dengan tanggapan dari pihak Jepang?” tanya sang Jenderal
“Sebelum perundingan ini, salah satu perwakilan kami juga telah menyepakati gencatan senjata yang berakhir gagal karena tentara dari pihak kami terus melakukan pertempuran untuk perebutan Pelabuhan. Masih dengan keputusan yang sama, kami menyetujui genjatan senjata yang diajukan.” kata Letnan Kolonel Nomura.
“Kami akan lebih mengawasi lagi pasukan kami.” tambahnya.
“Baiklah, untuk itu kami meminta agar tembak-menembak dan permusuhan dihentikan. Kami juga meminta untuk dibebaskannya masyarakat Indonesia yang kalian tawan.” kata Kasman Singodimedjo.
Hasil perundingan tersebut adalah penghentian tembak menembak dan permusuhan serta pasukan Jepang diminta untuk membebaskan orang Indonesia yang ditawan dan tentara Jepang dikonsinyir pada markas mereka. Sementara itu, pasukan TKR dan laskar-laskar lainnya mundur ke Jrakah, Tugu, Srondol, Mranggen dan Genuk untuk menghadapi perkembangan pertempuran lebih lanjut. Pihak Sekutu kemudian melucuti seluruh persenjataan dan menawan para pasukan Jepang pada hari yang sama. Dengan dilucutinya senjata pasukan Jepang, maka peristiwa pertempuran lima hari di Semarang pun resmi berakhir. Dengan berakhirnya pertempuran 5 hari di Semarang, perlahan pembangunan rumah-rumah warga dimulai dan dibangunlah sebuah tugu untuk mengenang perjuangan para pemuda Bangsa. Itulah Tugumuda, dan disanalah K.R.M.T. Wongsonegoro berdiri saat ini. Meskipun tugu itu belum terbentuk, ia menatap pembangunan tugu itu dengan tenang. Mengingat kembali situasi pada saat pertempuran terjadi, suara tangisan, tembakan, dan riuh para pemuda yang berjuang. Perlahan ia mendengar suara langkah kaki di atas tanah berbatu itu, saat ia menoleh ke belakang. Di situlah ia menemukan orang yang saat itu seperjuangan dengannya, Kasman Singodimedjo. Ia tersenyum tipis pada kawan seperjuangannya itu dan mereka berakhir menonton pembangunan tugu yang bahkan belum terbentuk itu. Tugu yang kedepannya akan menjadi pengingat untuk para generasi emas, sekaligus di tempat itu juga menjadi saksi bisu atas tangisan dan perjuangan para jiwa yang beristirahat.
Sumber:
https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/Pertempuran_Lima_Hari_di_Semarang