Desa Sriwangi, Desa tempat tinggalku yang sangat sejuk dan damai. Aku sangat mengingat sebuah masa ketika aku masih kecil. Masa dimana aku sering sekali ke hutan di seberang desaku. Hutan yang memiliki banyak pepohonan rimbun dan berbagai macam hewan. Hutan yang menyediakan segalanya bagi warga desaku.
Aku masih ingat jelas. Ketika siang saat aku bermain bersama teman-temanku di hutan, para ayah juga ikut bersama kami untuk berburu dan mencari buah- buahan. Di saat siang juga, kami terkadang bertemu dengan monyet monyet yang cukup usil. Aku pernah bertemu satu monyet kecil yang terpisah dari kelompoknya karena terluka lalu merawatnya selama seminggu.
Monyet itu kuberi nama Anom. Anom terluka di bagian kaki ketika kutemukan. Badannya kecil namun dahinya lebar. Monyet itu dalam keadaan yang sangat mengenaskan karena dia tidak bisa apa apa. Kakinya yang tidak bisa bergerak karena lukanya, membuat dia tidak bisa mwncari makan. Tubuhnya sangat kurus. Ketika kuberi dia sebuah pisang, dia memakannya dengan rakus. Aku yang merasa kasihan dengannya, mengulurkan tanganku untuk membantunya. Dan dia menerimanya. Seminggu setelah itu, dia yang sudah bugar dan sehat kubawa kembali ke hutan untuk mencari keluarganya. Memang menyedihkan, namun kesedihan itu segera hilang setelah satu bulan berikutnya dia kembali membawa keluarganya untuk berkunjung. Terus menerus seperti itu hingga 10 tahun berikutnya. Hingga kami akhirnya menjadi sahabat.
Aku masih ingat jelas hari itu. Desa kami yang terpencil tiba tiba didatangi sekitar 10 mobil mewah. Dari mobil mobil itu, muncul banyak sekali pria yang menggunakan jas dan kacamata hitam. Disana mereka mengelilingi seorang wanita separuh baya dengan make up yang tebal. Wanita itu berbicara dengan ayahku yang merupakan kepala desa. Ayahku menyalami dia dan mempersilahkan dia masuk ke dalam rumah kami. Sementara aku dan ibuku menunggu di luar. Tak selang berapa lama, mereka keluar dengan muka bahagia.
Aku bertanya kepada ayahku. “Ayah, apa yang ayah bicarakan dengan wanita itu?”. Ayah hanya tersenyum dan menjawab bahwa wanita itu orang yang baik. Aku tidak mengerti apapun karena itu aku terdiam saja.
Malamnya, aku dan seluruh warga desa pergi ke hutan untuk berkemah. Kami menyalakan api unggun dan bernyanyi bersama. Di dekat hutan itu terdapat sungai yang jernih. Aku dan beberapa temanku pergi ke sana dan menyaksikan suatu hal yang menakjubkan. Kami melihat cahaya kuning di langit malam yang hanya diterangi cahaya bulan. Aku dan teman-temanku takjub melihat itu dan berlari berusaha menangkap cahaya cahaya kuning itu. Udara berhembus di sela sela rongga pohon. Aku mendengarnya seperti suara nyanyian. Karena itu kusebut nyanyian pohon. Itu merupakan malam terindah bagiku sekaligus malam terakhir bagi hutan ini.
Paginya aku terbangun karena mendengar suara berisik. Suara itu adalah suara gergaji mesin. Aku terbangun di gendongan ayahku. Melihat hutan yang selalu kubuat bermain ditebangi satu persatu. Pohon-pohon yang tinggi perlahan lahan runtuh ke tanah dan menciptakan getara hebat. Sekilas aku beberapa kali mendengar suatu jeritan. Aku tidak tahu jeritan apa itu, tapi rasanya sangat memilukan. Aku berteriak juga. Meronta ronta agar dilepaskan. Aku ingin mencari siapa yang melakukan semua ini.
Wanita itu. Dia adalah biang dari semua ini. Dia membuat perjanjian dengan ayahku untuk menebang hutan dan menjanjikan ayahku hidup enak dengan uang banyak. Ayahku terlena dan mengorbankan hutan itu. Para warga bahkan tidak tahu ini dan hanya bisa terdiam mematung melihat hutan penuh kenangan itu perlahan lahan hilang.
Aku benar-benar marah. Sangat marah. Namun tidak kusangka ketika aku marah saat itu, terjadi hal yang menakutkan. Monyet-monyet dari dalam hutan keluar dan menyerang secara membabi buta para warga dan pekerja konstruksi. Aku melihat Anom berada disana dan ikut menyerang. Mukanya yang biasanya terlihat lucu sekarang sangat beringas. Tapi dia masih mengenaliku. Tapi monyet monyet itu tak bisa menyerang dalam waktu lama. Ternyata wanita tua itu juga membawa orang orang dengan senjata. Monyet-monyet itu ditembaki entah dengan harum bius atau dengan peluru. Entah benda apa itu, tapi itu mengenai Anom.
Banyak warga dan pekerja yang terluka karena insiden ini. Tapi luka mereka tidak sebesar luka hatiku. Aku melihat sendiri. Monyet yang menjadi sahabatku itu mati terbunuh di hadapanku. Aku berteriak. Berteriak nyaring sekali. Aku berusaha berlari untuk mendekati Anom. Tapi ayahku menahanku dan membawaku ke dalam mobil lalu pergi.
Aku benci ini. Aku sangat membencinya. Untuk terakhir kalinya, suara yang kudengar hanyalah sebuah jeritan nyaring dan pohon terakhir di desaku yang tumbang. Sejak saat itu aku tau sesuatu. Satu, ayahku hanyalah seorang mata duitan yang akan mengorbankan segalanya demi uang. Dan dua, pohon bisa menjerit.
- __________________________________
Berdasarkan Kompas.com , ilmuwan mengatakan bahwa pohon bisa menjerit ketika mau ditebang atau ketika merasakan stres. Jeritan itu tidak dapat didengar oleh manusia biasa karena berupa suara ultrasonik. Walau belum diketahui apakah semua tanaman pohon dapat melakukan ini, sebaiknya jangan merusak alam demi kepentingan pribadi. Terlebih lagi mengorbankan segala isinya. Karena alam juga tempat bagi makhluk hidup lain selain kita.