Farhan mengusap keningnya, melihat karyanya yang sebentar lagi selesai. Karya yang entah sudah keberapa dia ciptakan. Sebuah kipas sederhana yang terbuat dari kayu cendawan asli yang didapatnya ketika berkeliling hutan seminggu yang lalu. Lalu ia melirik ke kanan. Melihat tumpukan karyanya di samping meja kerjanya. Sebuah gala panjang dengan pengait pada ujungnya yang diselesaikannya 3 hari yang lalu. Lalu karya yang lainnya, seperti, sebuah tongkat berbentuk huruf Y pada ujungnya, sebuah kayu lurus dengan banyak gerigi besi pada ujung bawahnya, sebuah papan persegi panjang dengan datar bawahnya yang agak landai. Sederhana? Memang sangat sederhana, namun farhan membuatnya dengan sepenuh hati, penuh dengan ketelitian.

Farhan tinggal di Desa Wood, sebuah desa di negeri fantasi yang jauh di sana. Desa Wood terkenal karena melimpahnya kekayaan alam kayunya. Farhan adalah satu dari sekian banyak pengrajin kayu yang tinggal di Desa Wood. Di desa itu hampir seluruh penduduknya bermata pencaharian sebagai pengrajin kayu. Dari desa bagian barat, terdapat pengrajin kayu terkenal bernama Dare. Dare tak hanya pintar dalam memahat dan mengukir kayu. Dare juga pintar dalam menceritakan filosofi hasil pahatan dan ukiran yang dibuatnya. Setiap hasil pahatan memiliki kisahnya sendiri, begitu katanya. Dare juga selalu diundang untuk berpidato mengenai perkembangan hasil kayu di Desa Wood di alun-alun kota.

Dari desa bagian timur, terkenal seorang pengajin kayu bernama Moris. Moris adalah seorang pengrajin kayu yang memberi pahatan kayu sambil mendengarkan dendangan lagu. Setiap lagu dapat memberikan inspirasi dan menghasilkan hasil pahatan kayu dengan keunikan tersendiri. Farhan tak perlu berfilosofi, apalagi bersenandung. Hanya perlu jari-jari halus dan cermat untuk membuat bentuk dan ukiran kayu sempurna. Sederhana memang, sebab farhan tak ingin karyanya justru menyusahkan dan membingungkan orang lain.

Entah sudah berapa kali matahari dan bulan berputar silih berganti melaksanakan tugasnya masing-masing. Selama itu pula farhan belum bisa membuat nama dan potretnya diukirkan di “Papan Pengumuman Desa” yang terbuat dari kayu cendawan berkualitas terbaik. Karyanya tak pernah dilirik dan farhan tak pernah berani mengungkapkannya walau sering berakhir di tempat sampah. Hingga suatu hari farhan memberanikan diri datang ke rumah Tetua Desa. Farhan tak lupa membawa karya, sebuah buku catatan kecil, dan sebuah pulpen.

farhan mengetuk pintu.

Tetua Desa keluar dari rumahnya, sambil berkacak pinggang. Tak mengerti, farhan menganggap pose Tetua Desa sangat keren.

“Oh Farhan. Kupikir kau sudah mati dimakan harimau, singa, atau kelaparan di tengah hutan. Lama kau tak kelihatan. Apa yang kau inginkan?”, kata Tetua Desa sambil tersenyum sinis.

Farhan tak memikirkan kata-kata menyakitkan Tetua Desa, namun yang dilihatnya, Tetua Desa itu tersenyum walau hanya bibir kanannya saja yang terangkat. Ahh, ramah betul Tetua Desa ini, pikir farhan dalam hatinya.

Farhan mengambil bukunya dan mulai menulis.

Aku membawa karyaku. Maukah kau melihatnya dan mencobanya untukku?

Tetua Desa mengambil kertas itu dan mengangguk pelan. Kali ini tanpa senyuman. Farhan memberikan karya pertamanya. Sebuah kayu panjang meliuk-liuk berbentuk huruf Y dengan ukuran batik di seluruh tubuh kayu itu dan tulisan “Desa Wood” pada bagian ujung bawahnya.

“Kau membawakanku sampah?”, tanya Tetua Desa

Farhan berpikir, mungkin Tetua Desa berkata, “Apakah kau ingin aku mengukir namamu di Papan Pengumuman?”

Tetua Desa melambaikan tangannya di depan wajah Farhan untuk menyadarkan Farhan dari lamunannya. Farhan mengangguk.

Braaaaakkkk… Pintu dibanting kuat di depan wajahnya, farhan terkejut. Mungkin Tetua Desa sedang tidak enak badan. Akhirnya dia pulang dengan wajah berseri-seri membayangkan potretnya di Papan Pengumuman besok.

Ternyata, tak hanya Farhan dan Tetua Desa yang ada disitu. Mata Dare dari tadi mengintip di kejauhan sambil bersembunyi di belakang pohon oak yang rindang.

“Cihhh, cari muka betul anak itu. Pakai acara mengunjungi Tetua Desa segala. Dasar orang aneh. Ngomong saja tidak nyambung. Mau menandingi aku segala. Lihat saja. Selama Dare masih ada disini, takkan ada yang bisa menjadi pengrajin kayu terbaik di desa ini.”, kata Dare berapi-api.

Dare segera berlari menuruni bukit, menyeberangi sungai, hamparan sawah, hutan kayu yang begitu luas, untuk mencapai desa bagian timur, menemui Moris. Sesampainya disana, Moris sedang mengetam dan mengamplas kayunya dengan kertas pasir.

Dare segera menceritakan semuanya, sebentar Moris tersenyum, lalu kemudian mengangguk pelan. Cukup lama mereka berdiskusi, hingga matahari pulang ke tempat peraduannya…

Keesokan hari datang begitu sempurna dan indah. Matahari dan kicauan burung membingkai menyambut datangnya hari yang baru dengan segala sesuatu yang baru yang tak ada yang tahu apa yang akan terjadi.

Farhan menyambut datangnya pagi dengan ceria dan seribu semangat yang baru. Dia segera mandi, sarapan dengan roti dan selai madu, lalu berpakaian dan memakai kacamata keberuntungannya. Ia siap melihat namanya di Papan Pengumuman.

Mungkin aku akan diukir dengan memakai dasi kupu-kupu yang kemarin kupakai, pikirnya. Lalu dia pergi, tak lupa membawa catatan dan pulpennya.

Ketika farhan datang, semua orang memandangnya dengan tatapan kecewa, saling bisik satu sama lain. “Tega sekali dia melakukannya.”, bisik salah satu warga

“Aku tak menyangka Farhan sejahat itu.”, bisik warga yang lain.

Apa yang terjadi? Mereka menyambutku terlalu semangat. Apakah wajahku dipotret dengan sangat lucu? Ayolah. Aku yakin tidak begitu aneh, pikir Farhan.

Tetua Desa berjalan ke arahnya dengan wajah amat marah.